Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Saatnya Berhijrah, Lebih Berkah Bersama Bank Syariah

14 April 2017   09:39 Diperbarui: 10 September 2017   15:48 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Utang menghinakan, riba menyengsarakan. [Foto via fdaberbagi.blogspot.co.id]

“Nanti kalau udah pulang, kamu yang garap sawah ya.” Kata ibu saya beberapa waktu yang lalu saat kami berbincang via telepon.

Mendengar itu, saya jadi terpikir dua hal. Pertama, bahwa sepertinya beliau berharap ketika saya pulang kampung nanti, saya tetap mau menggarap sawahnya. Tetap mau bertani. Dan yang kedua adalah mengingatkan saya perihal usia mereka yang semakin menua, Bapak 78 tahun sementara Ibu 68 tahun, sehingga tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk menggarap sawahnya sendiri. Sedangkan saya adalah anak bungsu, yang secara tradisi harus tinggal membersamai mereka.

Untuk sementara ini, sawah-sawah yang ada tengah digarap oleh 3 kakak saya dengan sistem bagi hasil. Ada yang 50 : 50, ada yang 30 : 70. Namun saat ini mereka cukup kewalahan, karena di samping menggarap sawah orang tua saya, mereka juga harus menggarap sawahnya sendiri, sehingga hasilnya kurang maksimal. Maka dari itu, sangatlah wajar jika orangtua saya berharap kelak saya juga akan turut menggarap sawahnya, dengan sistem yang sama tentu saja.

Hidup di desa dan sebagai anak seorang petani, membuat saya cukup familiar dengan sistem bagi hasil semacam itu. Pada sistem 50 : 50, biasanya biaya modal tanam berikut perawatannya akan ditanggung secara bersama-sama oleh si penggarap sawah dan si empunya sawah. Begitu juga dengan hasilnya, akan dibagi dua setelah dikurangi biaya operasional panen.

Sementara untuk sistem 30 : 70, sebagian besar biaya tanam berikut perawatannya akan ditanggung oleh si penggarap sawah. Si empunya sawah hanya akan membantu  ala kadarnya. Biasanya hanya membantu sepertiga dari seluruh kebutuhan pupuk. Pun demikian dengan pembagian hasil panen, si empunya sawah hanya akan menerima sepertiga dari hasil panen bersih, sisanya (70 persennya) adalah untuk si penggarap sawah.

Pada sistem bagi hasil semacam itu, tidak ada tuntutan yang memberatkan kepada penggarap jika ternyata hasil panennya buruk. Terlebih jika penyebabnya adalah hal-hal di luar kesengajaan dan kendali manusia, seperti ketidakpastian musim, bencana alam, dan serangan hama yang tak terkendali. Hal itu sudah menjadi kesepakatan awal. Untung sama dibagi, rugi sama ditanggung.

Saat saya masih duduk di bangku SMP, saya bahkan pernah menjadi pelaku sistem bagi hasil ini. Saat itu, karena saya juga memelihara kambing hasil pemberian kakak perempuan saya yang nomor 6, saya  kemudian dititipi seekor kambing jantan seharga Rp300.000 oleh Mas Tonik, tetangga saya. Akadnya pun juga bagi hasil dengan skema 50 : 50.

Saya ingat sekali, setelah beberapa waktu lamanya dan kambing sudah semakin dewasa, kambing tersebut kemudian dijual dengan harga Rp700.000,-, sehingga ada untung Rp400.000,- yang kami dapatkan. Untung tersebut kemudian kami bagi dua. Saya mendapatkan Rp200.000,-. Uang segitu, bagi saya saat itu, tentu sudah sangat berharga dan menjadi uang pertama yang saya hasilkan dengan jerih payah sendiri.

Kakak laki-laki saya yang nomor dua, Mas Umar, juga telah sangat berpengalaman dalam hal ini. Dulu ketika masih awal-awal berumah tangga, menggarap sawah orang lain juga ia lakoni untuk menambah penghasilannya, di samping menggarap sawahnya sendiri.

Dulu ia menggarap sawah milik Bapak Mustajab, orang terkaya di kampung kami, sampai beberapa tahun lamanya. Karena saking luasnya sawah yang dimiliki Bapak Tajab, maka pengelolaannya kemudian diserahkan kepada para tetangganya, dengan sistem 30 : 70 (mertelu: [Jawa]).

Namun untuk dapat menjadi penggarap sawah orang lain, juga bukan hal mudah. Orang tersebut sekurang-kurangnya harus dapat dipercaya dan memiliki pengalaman bertani cukup mumpuni. Karena itu, Pak Tajab juga tidak sembarangan mengamanahkan sawahnya kepada sembarang orang.  

Begitu juga dengan ketika dulu saya mendapat amanah seekor kambing dari Mas Tonik, tak lain karena saya sudah cukup lama memelihara kambing bersama kakak saya yang nomor 9, Kandar, dan kami cukup cocok (sinung : [Jawa]) dengan binatang peliharaan.

Demikianlah indahnya sistem bagi hasil yang pernah saya jalani dan saksikan. Sangat adil dan menguntungkan. Sangat aman dan menenteramkan. Belakangan saya baru tahu bahwa sistem semacam itu ternyata merupakan kearifan lokal masyarakat kita yang, kalau dihubungkan dengan hukum Islam, sudah sangat syar’i.

Saya baru mengetahuinya setelah mengikuti sosialisasi “Aku Cinta Keuangan Syariah” (ACKS) yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Kompasiana di Yogya pada 25 Maret lalu. Kepala Bagian Departemen Perbankan Syariah OJK  Mbak Aprilia Ratna Palupi saat itu mengatakan bahwa bagi hasil merupakan prinsip utama perbankan syariah.

Dari situ saya kemudian berpikir, dengan kondisi seperti sekarang ini--mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan budaya yang sudah mengakar--, maka seharusnya itu sudah dapat menjadi modal besar bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Terlebih lagi, produk dan skema keuangan perbankan syariah saat ini juga sudah sangat variatif, kredibel, lengkap, modern, dan tentu saja lebih adil dan menguntungkan.

Mereka Terjerat Riba, Bisa Jadi Karena Andil Kita Juga

Andai tidak menjadi saksi langsung betapa kejamnya riba, mungkin saya tidak akan bisa menuliskan kisah ini.

Bencana itu menimpa keluarga ibu TM, tetangga sekaligus teman ibu berjualan di pasar. Niat hati ingin menambah modal dagangan dan melipatgandakan keutungan, namun malah membuat Bu TM terjerumus jerat utang yang beranak (berbunga). Sehingga bukan untung yang kemudian didapatkan, tetapi buntunglah yang ia rasakan. Usahanya bangkrut, rumahnya terpaksa harus dijual, anak-anaknya tercerai berai, dan ia pun kemudian merantau ke Malaysia menjadi pembantu rumah tangga, demi melunasi utangnya yang terus berbunga tanpa mengenal musim.

Bu TM adalah korban praktik riba yang dilakukan oleh perseorangan. Kita belum berbicara soal praktik riba yang dilakukan oleh lembaga keuangan, yang dalam hal ini adalah bank-bank konvensional. Kisah-kisah seputar nasabah yang terjerat utang dan bunga bank konvensional sudah begitu banyak. Mulai dari mereka yang terjerat utang kartu kredit, modal usaha, kredit pembiayaan rumah, dan lain sebagainya. Namun tahukah Anda bahwa kita pun juga turut andil membuat mereka seperti itu?

Loh kok bisa?

Terang saja bisa. Karena uang yang dipakai bank konvensional untuk memberi utang mereka adalah uang nasabahnya; uang saya dan uang Anda. Terlebih jika ternyata kita turut menikmati bunga dari uang yang Anda simpan di bank tersebut. Maka secara langsung Anda juga turut menikmati bunga yang diambil bank dari mereka yang terjerat riba. Astaghfirullah….!

Loh, tapi saya ‘kan menyimpan uang di bank, tidak bolehkah jika kemudian saya berharap keuntungan dari uang yang saya taruh di sana?

Boleh saja. Hanya saja kita perlu memahami terlebih dahulu sistem yang digunakan. Ini sama dengan kita punya sawah, yang kemudian kita pasrahkan kepada seseorang untuk digarap dan kita akan menerima sebagian hasilnya, sesuai dengan kesepakatan awal.

Prinsip itulah yang membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah. Bank konvensional menggunakan sistem bunga sedangkan bank syariah menggunakan sistem bagi hasil. Bank konvensional tidak mau tahu dengan kesulitan nasabah di kemudian hari (misal, sepinya penjualan), sedangkan bank syariah akan lebih toleran dengan fakta keadaan. Bank konvensional hanya berorientasi profit, sedangkan bank syariah juga berorientasi kepada kebaikan mitranya.

Mencari Berkah Bersama Bank Syariah

“Hidup indah bila mencari berkah”. Demikianlah grup band Wali pernah berpesan kepada kita melalui salah satu lagunya yang berjudul “Cari Berkah”.

Saya pikir ini adalah poin pentingnya. Dalam Islam, keberkahan adalah hal utama. Banyak atau sedikit, jika diberkahi Allah S.W.T maka akan bermanfaat dan kelihatan hasilnya. Namun jika sebaliknya, sebanyak apa pun nikmat harta yang kita terima atau miliki, hanya akan membuat kita gelisah, atau bahkan dapat menjerumuskan kita pada kehidupan yang hina.

Berbicara tentang keberkahan, kita tidak begitu perlu menyebut dalil apa pun. Karena sifat keberkahan sejatinya bisa kita rasakan. Jika harta yang kita miliki itu dapat membuat kita tenteram, maka itulah yang namanya keberkahan. Begitu pula sebaliknya.

Sementara itu, keberkahan akan selalu berkorelasi dengan kebaikan. Artinya, harta yang kita miliki pun juga harus didapatkan dengan cara yang baik. Tak cuma itu bahkan, penggunaannya pun juga harus diperhatikan; yang meliputi di mana harta itu disimpan dan untuk apa harta itu digunakan.

Hal itulah yang bisa kita jadikan alasan kuat mengapa mulai sekarang sebaiknya kita berhijrah kepada bank syariah. Jika pun kemudian Anda tidak menginginkan bonus/imbalan/hasil, minimal uang yang Anda titipkan kepada bank syariah itu akan digunakan untuk hal-hal baik dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Tidak menjerat leher saudara-saudara kita, baik yang seiman maupun yang bukan, karena bunga yang harus ditanggungnya.

***

Jumat, 3 Rajab 1438 Hijriyah lalu, merupakan momentum tak terlupakan bagi saya. Hari itu saya resmi menjadi nasabah bank syariah. Hal itu saya lakukan selain karena keinginan untuk berhijrah, juga merupakan bentuk penyataan sikap saya terhadap bagaimana selama ini perekonomian Indonesia dijalankan. Kita tahu, selama ini roda perekonomian di Indonesia dijalankan dengan sistem yang sangat keji. Mulai dari penyertaan modal pembangunan oleh pemerintah, sampai dengan penyertaan modal bagi masyarakat kelas bawah, kesemuanya masih memainkan bunga.

Sementara saya melihat Islam telah mengatur sistem perekonomian umat manusia dengan demikian baiknya-- yang terbukti lebih manusiawi, sosialistis, adil, dan menguntungkan. Maka kini saatnya bagi kita (apa pun agama, suku, ras Anda--karena perbankan syariah dijalankan juga berdasarkan prinsip universalitas), untuk mulai beralih kepada sistem ini. Demi terwujudnya sistem perekonomian yang adil, manusiawi, dan diberkahi.

Yogyakarta, Jumat, 17 Rajab 1438 Hijriyah

Darul Azis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun