[caption caption="Listrik pintar/pln.co.id"][Ayo beralih ke layanan listrik prabayar]
Prolog; Sebuah Pengalaman Komunal
Sekira 8 tahun yang lalu, saat jaringan listrik PLN akan masuk ke kampung saya di Lampung, kami menyambutnya dengan hati gembira. Ini lantaran sudah begitu lama kami menantikannya, dengan kondisi kampung sebelah yang jaraknya cuma 2 kilometer sudah teraliri jaringan listrik. Anda bisa membayangkan, betapa ngilernya kami ketika melihat rumah tetangga kampung sudah terang benderang sementara kami masih berjibaku dengan kegelapan.
Saat itu, -meski kami nyaris tak pernah mendengar motto PLN “Listrik untuk kehidupan yang lebih baik”- kami sangat yakin bahwa masuknya jaringan listrik ke kampung kami akan membuat hidup kami menjadi lebih baik. Minimal saat makan malam kami sudah diterangi cahaya listrik, sehingga tidak ada makanan yang sampai salah masuk ke hidung.
Namun kemudian, begitu jaringan listrik sudah terpasang, hasrat untuk memenuhi keinginan yang lain pun muncul. Beramai-ramai kami mulai membeli tivi dan parabola; kipas angin; kulkas; setrika; mesin pompa air; penanak nasi; sound sistem; senter; dan perangkat elektronik yang kesemuanya menggunakan energi listrik. Baik secara tunai maupun kredit, karena tentu kemampuan keuangan kami tetaplah berbeda-beda. Pendeknya, kami benar-benar bereuforia di antara gelimang cahaya.
Sampai akhirnya keefouriaan kami berimbas pada tingginya tagihan listrik, ada yang sampai di atas dua ratus ribu rupiah kala itu. Mula-mulanya, besarnya tagihan belum terlalu kami rasakan. Karena biar bagaimanapun kami sudah menantikannya sejak lama, dan inilah saatnya untuk menikmati buah manis dari penantian panjang kami. Pikir kami waktu itu. Saat itu kami nyaris mirip dengan masyarakat perkotaan kelas menengah ke atas kebanyakan, yang menghabiskan banyak energi listrik demi memenuhi kebutuhan (atau kemanjaan?) sehari-hari. Perkara tagihan itu lain soal, karena toh kami mampu membayarnya. Kebetulan memang saat itu harga getah karet, sumber penghasilan andalah kami, masih cukup mahal.
Saya sempat mengira, euforia tersebut hanya untuk beberapa waktu saja, 2 sampai tiga bulanlah paling lama. Tapi ternyata berbeda adanya, kami terus-menerus demikian sampai dalam hitungan bulan bahkan tahun. Seakan sudah membudaya dan sulit sekali untuk mengubahnya.
Listrik untuk kehidupan yang lebih baik, tapi yang bagaimana?
Fenomena tersebut perlahan membuat saya tersadar, bahwa sebenarnya kami ini belum siap dengan masuknya jaringan listrik. Pemaknaan kami atas kehidupan yang lebih baik setelah adanya listrik dari PLN, ternyata baru sebatas soal pemuasan hasrat konsumsi terhadap energi listrik.
Lantas kemudian muncul pertanyaan dalam benak saya, listrik yang bagaimanakah yang bisa membuat kehidupan menjadi lebih baik? Apakah hidup yang lebih baik ‘hanya’ dimaknai sebagai bisa nonton tivi, tidak gelap-gelapan lagi, serta membuat semua urusan menjadi lebih mudah?