Mohon tunggu...
Darrel Rondo
Darrel Rondo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - CC'26

saya senang berpikir tentang berpikir dan juga tidur siang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mental Lembek Gen Z, Kebebasan, dan Makna

26 April 2024   20:09 Diperbarui: 26 April 2024   20:17 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flachlandschaft am Greifswalder Bodden karya Caspar David Friedrich (1834)

Generasi yang Lemah?

Generasi Z adalah sebuah klasifikasi rentang waktu kelahiran manusia dari tahun 1997 sampai 2012 (Beresford Research, 2024). Mereka yang terlahir di kala generasi ini hidup dan bertumbuh bersama teknologi. Dengan begitu, para manusia Gen Z (sebutan singkat bagi Generasi Z) telah menjadi erat dengan kenyamanan. Berbagai macam kebutuhan hidup dapat terpenuhi dengan cepat dan mudah. Contohnya, Gen Z yang sebagian besar berusia remaja dan dewasa saat ini dapat memesan makanan dengan cepat lewat aplikasi GoFood saat lapar. 

Kenyamanan yang berlimpah tampak menyejahterakan kehidupan para Gen Z. Kemudahan akses terhadap berbagai fasilitas seakan menjadi suatu mata air yang sangat segar. Perjuangan semakin tidak terdengar dentumannya. Alasannya bahwa para Gen Z dapat memperoleh apapun yang mereka inginkan dengan mudah. Internet sebagai suatu jaringan global juga semakin mengikat satu individu bersama jutaan individu lain di belahan bumi yang berbeda.

Manusia Gen Z juga sangat rajin mengeksplor dunia di luar diri mereka. Progres ilmu pengetahuan dan teknologi abad ini berlangsung begitu pesat. Berbagai inovasi dalam industri mobil listrik, fisika kuantum, kecerdasan buatan, dll. terus terdengar di seluruh penjuru bumi. Ratusan sampai ribuan penemuan tersebut diusahakan atas nama kemanusiaan dan keberlanjutan hidup. Oleh karena itu, dunia yang ada di luar manusia terlihat semakin harum kejayaannya. Namun, bagaimana dengan kondisi internal manusia itu sendiri?

Psike manusia modern malah menjadi semakin dekaden. Dalam konteks artikel ini, kondisi psikologis sebagian Gen Z cukup memprihatinkan. Sebanyak 58% orang dewasa muda dari Generasi Z mengalami kehampaan makna hidup (WBUR, 2024). Menurut American Psychological Association (2019), hanya sekitar 45% anggota Generasi Z yang mengaku bahwa mereka sehat secara mental.

Penelitian dari Walton Family Foundation (2022) and Murmuration juga mendapati bahwa para anggota Gen Z mempunyai kemungkinan yang dua kali lipat lebih besar untuk menghadapi depresi dibandingkan orang dewasa yang berusia di atas 25 tahun. Pelapukan ketangguhan psikologis kian terlihat di kalangan Gen Z. Alhasil, tidak sedikit orang mengejek Generasi Z sebagai suatu generasi yang sangat lembek.

Pada hemat saya, berkaratnya perisai jiwa dari manusia Gen Z dapat ditinjau dari banyak aspek. Oleh karena itu, saya akan melakukan suatu analisis interdisiplin terhadap permasalahan mental Gen Z pada artikel ini. Pertama, saya akan meninjau wacana ini dari sisi filsafat eksistensialisme. 

Kematian kebebasan dan kutukan kebebasan akan saya jadikan suatu patokan utama dalam analisis filosofis ini. Lalu, saya akan menelaah instrumen psikologis apa yang telah membutakan manusia modern (khususnya Gen Z) kepada kebebasan yang mereka miliki. Maka, pembahasan psikologis ini akan erat dengan persoalan keterasingan diri. 

Setelah itu, saya akan mencoba membahas dampak keterasingan diri ini terhadap dunia di luar manusia itu. Terakhir, saya akan mengusulkan suatu solusi yang universal terhadap masalah kesehatan mental Gen Z. Tujuannya adalah supaya dapat diterapkan oleh khalayak dari agama maupun budaya manapun.

Bukan Suatu Perayaan

Pada akhir abad ke-19, dunia Barat dihadapkan pada kemajuan sains dan industri yang sangat pesat. Orang Eropa berpikir bahwa manusia telah berhasil menaklukkan alam. Superioritas posisi mereka akhirnya kian menghilangkan peran Tuhan di dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Institusi yang berdiri atas nama Tuhan pun semakin melemah pengaruh dan kekuasaannya. Melihat kondisi ini, Friedrich Nietzsche pun menjadi berani memproklamasikan "Kematian Tuhan".

Pernyataan yang terdengar gagah tersebut sebenarnya bermakna tragis. Memudarnya peran Tuhan di dalam kehidupan manusia menghasilkan suatu kekosongan. Tidak ada lagi yang namanya kepastian. Manusia sudah tidak dikodekan untuk bertindak dan berperilaku mengikuti cara agama tertentu. Hampa manusia hadapi tanpa adanya suatu pegangan yang kekal abadi.

Roh nihilisme akhirnya menguat sebagai konsekuensi. Tumbuhnya anggapan bahwa dunia ini nirmakna pun dimulai secara perlahan. Pemahaman demikian timbul pertama di Benua Biru sampai menyebar ke seluruh penjuru bumi. Hal ini diakibatkan oleh globalisasi abad ke-20 yang didorong secara primer oleh negara-negara Barat. 

Pengaruh ilmu pengetahuan dan budaya mereka ikut menyebar secara cepat. Alhasil, kesadaran yang identik pun muncul di berbagai belahan dunia, bahkan di pada negeri Indonesia. Dengan begitu pun potensi kesunyian hati manusia kian meningkat. Terlebih lagi, minimalisasi peran agama di dalam kehidupan kolektif semakin menunjukan lemahnya pengaruh Tuhan bagi manusia modern.

Terkutuk Menjadi Bebas

Kebebasan adalah suatu karunia sekaligus kutukan. Ia merupakan suatu karunia karena memberikan manusia kesempatan untuk menyatakan dirinya secara mandiri. Namun, kebebasan juga menjadi suatu kutukan karena ia tidak luput dari tanggung jawab. Tidak ada suatu kebebasan tanpa hantu tanggung jawab yang menggentayanginya.

Teror tanggung jawab ini yang sukar dihadapi manusia. Manusia bagaikan bangsa Israel yang mengembara padang gurun mencari Tanah Perjanjian. Keduanya sama-sama takut "mencoba" walau sudah dibebaskan. Mereka berdua juga ingin sering rindu pada kondisi semula. Namun, tidak mungkin bagi keduanya untuk berputar balik.

Fase Cermin yang Abadi

Di dalam psikoanalisis Lacanian, Fase Cermin merupakan tahap pertama perkembangan seorang anak. Fase ini ditandai dengan kesadaran anak yang bersifat primordial. Anak hanya mampu mengalami dunia dan mengimitasi realitas pengalamannya. Ia masih belum bisa melakukan judgment yang bersifat kategoris terhadap dunia. Dengan begitu, Fase Cermin mengisyaratkan impotensi subjek terhadap kebebasan. Alasannya berupa sang subjek belum mendiferensiasikan dirinya dengan realitas eksternal.

Terdapat suatu konsep yang identik dengan Fase Cermin di dalam bidang psikologi empiris. Intisari dari Tahap Sensorimotor di dalam Teori Perkembangan Jean Piaget sangat beresonansi dengan gagasan Fase Cermin Jacques Lacan. Keduanya menyatakan bahwa pada usia tertentu (sekitar 0-2 tahun menurut Jean Piaget), seorang anak hanya mampu menerima aliran dunia begitu saja. Mereka masih belum mampu memutuskan hal apapun tentang dunia itu.

Pemahaman teori perkembangan mengimplikasikan bahwa Fase Cermin seharusnya bersifat sementara. Namun, tampaknya fase tersebut menjadi "abadi" pada manusia modern (lebih spesifik lagi, Gen Z). Hal ini dikarenakan mereka enggan memakai kebebasan menentukan yang mereka miliki. 

Secara internal manusia Gen Z menjadi nihil akibat tak mampu memutuskan arah hidup. Mereka bernapas sekadar mengikuti ritme yang sedang tren. Padahal, mereka telah sampai pada kesadaran bahwa mereka seharusnya mampu melakukan deviasi dari arus utama yang populer.

Bukan Seorang Nomaden Maupun Seorang Sedenter

Ambiguitas batin manusia menghasilkan suatu penolakan yang absolut. Manusia telah menolak kodifikasi struktur eksternal, seperti yang diusahakan agama. Namun, mereka sendiri tidak mampu menyusun kode hidup individual yang khas. Kondisi ini adalah suatu klimaks keterasingan diri. Pada titik mencekam ini, manusia tidak terhindarkan dari kekosongan makna kehidupan. Alhasil, manusia menjadi rawan terhadap berbagai macam kondisi mental yang berbahaya.

Kita tidak akan bisa memberikan sesuatu kalau kita tidak memiliki apa-apa. Mereka yang merasa asing terhadap dirinya sendiri tidak memiliki pegangan di dalam hidup. Orang-orang semacam itu tidak memiliki tanah untuk berpijak. Hampa tanpa suatu apapun menghasilkan kecemasan. Manusia pun merasa tidak ada gunanya hidup lagi.

Menuju Inferno

Saya telah menjelaskan berbagai macam penyebab bagi masalah mental Gen Z yang lembek. Kini, saatnya menyusun ulang rentetan penalaran terhadap persoalan tersebut. Pertama, modernisasi pada akhirnya melemahkan pengaruh Tuhan bagi hidup manusia. Hal ini dikarenakan kesadaran manusia akan potensi kebebasan yang kian meningkat. 

Namun, manusia itu malah takut kepada kebebasan yang penuh tanggung jawab. Kepasifan manusia yang didasarkan paranoia ini memaksa mereka hidup penuh paksaan halus. Manusia kontemporer (Gen Z) tidak sedikit yang hidup melaksanakan kehendak yang berada di luar dirinya.

Menanggapi permasalah ini, saya terpikirkan beberapa solusi yang bersifat praktis. Pertama-tama, pendidikan kembali menjadi kunci. Institusi pendidikan harus mampu menanamkan kebiasaan reflektif yang mandiri. Saya adalah seorang pelajar di salah satu kolese beraliran Yesuit di Jakarta. 

Di sekolah, saya diwajibkan untuk menulis jurnal harian dengan panduan yang telah diberikan (Pedagogi Ignasian). Untuk memulai refleksi, saya harus mengerucutkan satu atau beberapa pengalaman yang paling berkesan. Lalu, saya akan mencoba mengambil makna pribadi secara mandiri terhadap pengalaman tersebut. Setelah itu, saya akan memikirkan aksi apa yang dapat saya ambil untuk lanjut menjalani hidup yang semakin bermakna.

Bagi saya, pedagogi reflektif seperti itu sangat mendesak untuk diterapkan pada kurikulum pendidikan. Manusia Gen Z sangat gencar mencari makna. Mereka haus akan suatu tujuan walau masih diliputi rasa takut. Oleh karena itu, tugas institusi pendidikan adalah memantik api refleksi yang produktif dalam diri Gen Z. 

Pada hemat saya, refleksi hidup yang produktif adalah suatu pedang melawan raksasa kehampaan dan pahitnya penderitaan. Refleksi memproduksi suatu makna. Melalui wangsit pemaknaan, manusia pun dibuka matanya untuk melihat dunia dengan cara tentu. Alhasil, keberadaan mereka yang berefleksi seharusnya memahami peran mereka dalam dunia persepsi yang telah mereka rancang.

Makna adalah sebuah makanan yang membukakan mata. Perlu diingat bahwa tidak ada makna hidup yang bersifat kekal dan absolut. Manusia bersifat dinamis karena ia berubah seturut waktu dan tempat. Maka, hendaklah kita pun memproduksi makna tersebut secara konstan juga. 

Tidak perlu takut akan perubahan makna yang gesit, justru kita harus merangkul realitas tersebut. Hidup berarti memproduksi sehingga hidup akan selalu penuh dengan hal yang baru. Dengan begitu, satu pertanyaan esensial bagi mereka yang ingin mencintai hidup: Beranikah Anda terus menghasilkan makna yang baru seiring perubahan dari dunia itu sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun