Bukan Seorang Nomaden Maupun Seorang Sedenter
Ambiguitas batin manusia menghasilkan suatu penolakan yang absolut. Manusia telah menolak kodifikasi struktur eksternal, seperti yang diusahakan agama. Namun, mereka sendiri tidak mampu menyusun kode hidup individual yang khas. Kondisi ini adalah suatu klimaks keterasingan diri. Pada titik mencekam ini, manusia tidak terhindarkan dari kekosongan makna kehidupan. Alhasil, manusia menjadi rawan terhadap berbagai macam kondisi mental yang berbahaya.
Kita tidak akan bisa memberikan sesuatu kalau kita tidak memiliki apa-apa. Mereka yang merasa asing terhadap dirinya sendiri tidak memiliki pegangan di dalam hidup. Orang-orang semacam itu tidak memiliki tanah untuk berpijak. Hampa tanpa suatu apapun menghasilkan kecemasan. Manusia pun merasa tidak ada gunanya hidup lagi.
Menuju Inferno
Saya telah menjelaskan berbagai macam penyebab bagi masalah mental Gen Z yang lembek. Kini, saatnya menyusun ulang rentetan penalaran terhadap persoalan tersebut. Pertama, modernisasi pada akhirnya melemahkan pengaruh Tuhan bagi hidup manusia. Hal ini dikarenakan kesadaran manusia akan potensi kebebasan yang kian meningkat.Â
Namun, manusia itu malah takut kepada kebebasan yang penuh tanggung jawab. Kepasifan manusia yang didasarkan paranoia ini memaksa mereka hidup penuh paksaan halus. Manusia kontemporer (Gen Z) tidak sedikit yang hidup melaksanakan kehendak yang berada di luar dirinya.
Menanggapi permasalah ini, saya terpikirkan beberapa solusi yang bersifat praktis. Pertama-tama, pendidikan kembali menjadi kunci. Institusi pendidikan harus mampu menanamkan kebiasaan reflektif yang mandiri. Saya adalah seorang pelajar di salah satu kolese beraliran Yesuit di Jakarta.Â
Di sekolah, saya diwajibkan untuk menulis jurnal harian dengan panduan yang telah diberikan (Pedagogi Ignasian). Untuk memulai refleksi, saya harus mengerucutkan satu atau beberapa pengalaman yang paling berkesan. Lalu, saya akan mencoba mengambil makna pribadi secara mandiri terhadap pengalaman tersebut. Setelah itu, saya akan memikirkan aksi apa yang dapat saya ambil untuk lanjut menjalani hidup yang semakin bermakna.
Bagi saya, pedagogi reflektif seperti itu sangat mendesak untuk diterapkan pada kurikulum pendidikan. Manusia Gen Z sangat gencar mencari makna. Mereka haus akan suatu tujuan walau masih diliputi rasa takut. Oleh karena itu, tugas institusi pendidikan adalah memantik api refleksi yang produktif dalam diri Gen Z.Â
Pada hemat saya, refleksi hidup yang produktif adalah suatu pedang melawan raksasa kehampaan dan pahitnya penderitaan. Refleksi memproduksi suatu makna. Melalui wangsit pemaknaan, manusia pun dibuka matanya untuk melihat dunia dengan cara tentu. Alhasil, keberadaan mereka yang berefleksi seharusnya memahami peran mereka dalam dunia persepsi yang telah mereka rancang.
Makna adalah sebuah makanan yang membukakan mata. Perlu diingat bahwa tidak ada makna hidup yang bersifat kekal dan absolut. Manusia bersifat dinamis karena ia berubah seturut waktu dan tempat. Maka, hendaklah kita pun memproduksi makna tersebut secara konstan juga.Â