Mohon tunggu...
DARMA YUDHA
DARMA YUDHA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Makam Buyut Shidin: Jejak Kearifan Leluhur di Desa Kepuharjo

11 Januari 2025   01:57 Diperbarui: 11 Januari 2025   02:19 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam/Punden di Desa Kepuharjo, Karangploso

Asal Usul Dusun Tlasih dan Tokoh Buyut Shidin
  (Dusun Tlasih Karangploso)

Di zaman Majapahit saat kejayaan candi Singosari, disebuah desa kecil yang masih dipenuhi pohon-pohon di dalam hutan terletak tidak jauh dari candi, ada seorang pemuda yang datang dan akan mengubah nasib para penduduk desa tersebut. Namanya adalah Shidin, pemuda yang asal-usulnya terkait erat dengan peperangan yang menyelimuti kejayaan candi Singosari. Shidin lahir sebagai anak yang sederhana, tumbuh pada zaman kemegahan candi yang menjulang tinggi. Desanya meskipun terlihat damai, ternyata terjerat dalam belenggu penguasa yang memanfaatkan kekuasaannya untuk menindas rakyat jelata. Desa itu menjadi saksi bisu keluhan dan derita, namun tak seorang pun berani melawan ketidakadilan yang terjadi.

Sejak kecil dalam keheningan hutan yang lebat, Shidin menghabiskan waktunya dikuil-kuil yang tersebar di sekitar candi Singosari. Ia belajar tentang kebijaksanaan dari para biksu yang mendalami ilmu-ilmu mengenai kehidupan dan seni bela diri. Dalam perjalanan hidupnya Shidin selalu berlatih seni bela diri dan akhirnya ia tumbuh menjadi pemuda yang tangguh dan penuh semangat. Selama bertahun-tahun Shidin belajar ilmu dikuil, akhirnya ia menemukan rasa ingin untuk melawan ketidakadilan dan menyelamatkan desanya dari penguasa yang dzolim itu. Meski hidup di tengah kemiskinan dan ketidakadilan, Shidin memiliki tekad untuk mengubah nasib desanya. Suatu hari Shidin pun bertekad menemui biksu untuk meminta izin mengamalkan ilmu yang telah ia peroleh untuk melawan penguasa yang dzolim itu.

Shidin: "Wahai guru, izinkan aku untuk mengutarakan niatku."

Biksu: "Ada apa?, Kenapa?."

Shidin: "Wahai guru, izinkan aku untuk mengamalkan ilmu yang telah dipelajari disini selama bertahun-tahun."

Biksu: "Baik, rumput yang ditanam didalam rumah tidak akan pernah besar, sama hal nya dengan ilmu yang selama ini ku ajarkan kepadamu dikuil ini."

Shidin: "Baik terima kasih, aku akan mengamalkan apa yang dipelajari dikuil ini."

Biksu: "Bulatkan tekadmu, dan pergilah"

Dengan langkah-langkah yang penuh semangat, Shidin kembali ke desanya setelah mendapatkan izin dari para biksu untuk mengamalkan ilmunya. Wajahnya yang dipenuhi dengan rasa senang dan disambut oleh para warga desa yang penasaran, Shidin mengumpulkan mereka ditempat yang terbuka di tengah desa. Dengan tatapan yang penuh keberanian, ia mulai menyampaikan tekadnya untuk melawan ketidakadilan yang telah lama terjadi kepada para warga desa.

Shidin: "Kita tidak bisa terus menerima kezaliman ini. Penguasa itu terlalu semena-mena dengan kekuasaanya dan juga telah menyiksa rakyat kita terlalu lama."

Warga: "Tetapi apa yang bisa kita perbuat, kita ini hanyalah orang biasa tidak mungkin kita bisa melawan orang yang memiliki kekuasaan di desa ini."

Warga lain: "Benar! Dari pada kita harus menentang dan akhirnya tewas, lebih baik kita pasrah dan menuruti si penguasa agar kita masih bisa hidup."

Shidin: "Tetapi kita tidak bisa terus seperti ini tanpa melakukan perlawanan sama sekali, kita harus berani melawan walaupun kita harus mengorbankan nyawa kita sekalipun."

Warga yang lain: "Kami tidak mau mengambil resiko"

Shidin: "Baiklah kalau begitu, jika kalian tidak ingin mengambil resiko, saya akan tetap berangkat seorang diri,  kalian hanya bisa mengeluh dan menangis, jika suatu saat hidup kalian diatur dan sengsara jangan salahkan saya."

Shidin melihat wajah ragu dan ketakutan diantara para warga desa. Meskipun warga-warga itu merasakan kedzoliman yang telah terjadi, ketakutan akan konsekuensi melawan penguasa terlalu besar. Namun, Shidin tidak gentar dan tetap memegang tekadnya, akhirnya ia mempersiap diri terlebih dahulu untuk melawan penguasa tersebut dengan menggunakan pakaian besi dan bersenjatakan pedang, lalu Shidin pun menuju kecandi dan menemui penguasa itu dengan langkah yang mantap, saat sudah tiba penguasa dan para pengikutnya yang berada disekitar candi menatap Shidin dengan penuh perasaan yang terheran-heran. Lalu Shidin pun melontarkan suaranya dan berkata.

Shidin: "Hai kau penguasa dzolim! Tidak bisa lagi aku berdiam diri melihat rakyatku menderita."

Penguasa: "Kau berani menentang keputusanku? Kekuasaanku adalah takdir yang tak bisa diganggu gugat!."

Shidin: "Takdir yang dibangun di atas penderitaan rakyat bukan takdir yang patut di hormati. Aku akan melawan untuk kebebasan mereka!."

Penguasa: "Siapa kau! Kau hanyalah pemberontak! Kekuasaanku adalah keadilan yang di tegakkan, bahkan para rakyat sekalipun tidak ada yang menentang diriku. Kau akan membayar mahal keberanianmu ini!.'

Shidin: "Lebih baik aku mati berdiri melawan kezaliman dari pada tunduk kepada ketidakadilanmu!."

Akhirnya Shidin melancarkan perlawanan  yang sangat sengit terhadap penguasa dan para pengikutnya, sehingga perlawanan itupun terjadi direruntuhan candi selama sehari penuh. Dalam gelap malam yang penuh ketegangan, Shidin melakukan perlawanan kepada para pengikut penguasa. Suara perang, pedang yang saling menebas, dan teriakan Shidin memenuhi udara malam. Pertempuran yang berkecamuk itu memasuki reruntuhan candi, menambah sentuhan dramatis  pada kisah peperangan yang tak terlupakan.

Pada akhirnya, ketika sinar matahari sore mulai menyinari langit, Shidin menyaksikan kematian sang penguasa itu. Penguasa yang sebelumnya semena-mena kepada para warga itu akhirnya jatuh tersungkur dibawah kaki Shidin. Pedang Shidin bersinar dibawah sinar matahari senja, sore yang menjelang malam. Shidin dengan keberanian dan keterampilan bela dirinya berhasil mengalahkan penguasa dzolim itu beserta para pengikutnya seorang diri.

 Setelah Shidin berhasil memenangkan perlawanan, ia kembali dan menemui para warga menyampaikan bahwa ia telah memenangkan dan menghabisi penguasa beserta para pengikut-pengikutnya juga. Setelah para warga mendengar kabar yang telah di sampaikan Shidin, mereka bersyukur, menangis terharu dan mengucapkan terima kasih kepada Shidin.

Warga: "Terima kasih, Shidin! Kau telah membawa keadilan pada kami!."

Shidin: "Ini adalah kemenangan kita bersama. Kini saatnya kita yang mengambil alih dan memulai membangun kehidupan yang lebih baik untuk kita semua."

Dalam keberhasilan Shidin memenangkan pertempuran sengit itu, Akhirnya Shidin membabat desa dari penguasa itu. Kemenangan itu bukan hanya hasil dari keberanian dan keterampilan bertarungnya, melainkan juga sebuah kemenangan yang membawa kedamaian bagi rakyatnya. Desa yang sebelumnya terancam kehancuran, kini bersyukur karena memiliki sosok Shidin yang berani melawan ketidakadilan yang terjadi. Desa yang dulu dalam ketidakadilan, kini memancarkan kebebasan.

Dalam perjalanannya Shidin akhirnya menjadi seorang pemimpin dan yang memajukan desa tersebut, dari yang awalnya desa yang masih dipenuhi oleh rerumputan atau yang berada ditengah alas kini sudah menjadi desa yang luas dan makmur.

 Shidin ini akhirnya menjadi cerita dari generasi ke generasi. Asal-usulnya dari rakyat sederhana dan perjalanan yang panjang, menjadikan sosok Shidin sebagai lambang perlawanan dan keberanian. Setelah sosok Shidin ini tiada, makam dan nama Shidin ini selalu menjadi cerita dalam sejarah desa ini mengingatkan semua bahwa keberanian dan semangat dapat membebaskan desa dari ketidakadilan, itulah yang menjadi alasan Shidin akhirnya memberi nama desa atau dusun tersebut Arjowinangu yang melambangkan keberanian.

Namun seiring setelah Shidin ini meninggal dunia, para warga mengganti nama desa tersebut menjadi desa atau dusun Tlasih, yang artinya "Tlas" itu habis. Jadi para masyarakat itu sudah habis kepercayaannya akan para penguasa, dikarenakan sudah dibebaskan oleh Shidin dan juga disepakati oleh seluruh warga desa. Terdapat tradisi yang tetap berjalan, yaitu setiap malam satu suro senin legi ada tradisi ke makam mbah buyut Shidin dan para warga juga pergi ke sumber mata air dan ada beberapa ritual doa atau selametan, karena para warga ini kehidupannya selalu mengambil air disumber mata air itu untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga tradisi itu sudah menjadi tradisi rutin tiap tahun dari desa ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun