Mohon tunggu...
Darmawan bin Daskim
Darmawan bin Daskim Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang petualang mutasi

Pegawai negeri normal

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menerima Gratifikasi vs Melakukan Pungutan Liar (Bagian ke-2)

25 September 2023   18:00 Diperbarui: 25 September 2023   18:08 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, bila kita lebih teliti melihat bunyi kalimat pasalnya, maka kita akan sepakat bahwa pasal ini lebih masuk dalam kategori penyuapan. Pasal 12 B berbunyi, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: ....” Jadi Pasal 12 B ini memang berbicara mengenai praktik PNS yang menerima gratifikasi (pemberian dalam arti luas), tetapi gratifikasi tersebut diperoleh akibat dari PNS melakukan kesalahan prosedur, bukan akibat sekadar PNS mempunyai kewenangan dan/atau jabatan.

Ancaman pidana dari pelanggaran Pasal 12 B (penyuapan) ini adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00. Ini lebih berat dari pelanggaran Pasal 11 (menerima gratifikasi) yang berupa pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00.

Jadi akan lebih masuk logika bahwa Pasal 12 B ini berbicara mengenai praktik penyuapan, bukan mengenai menerima gratifikasi.

Selanjutnya, pasal yang mewakili praktik pungutan liar (pemerasan) yang dilakukan oleh B adalah Pasal 12 huruf e, pasal yang mengatur pidana bagi PNS yang menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Ancaman pidana dari pelanggaran Pasal 12 huruf e ini adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.

UU Pemberantasan Tipikor mengancam PNS yang menerima gratifikasi dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00. Adapun PNS yang melakukan pungutan liar (pemerasan) diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.

PP 94 mengancam PNS yang menerima gratifikasi dengan Hukuman Disiplin berat, yaitu (1) penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan; (2) pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan; atau (3) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS. Adapun PNS yang melakukan pungutan liar (pemerasan) diancam dengan Hukuman Disiplin sedang atau Hukuman Disiplin berat.

Jadi, bila kita membandingkan ancaman pidana antara menerima gratifikasi dan pungutan liar (pemerasan), UU Pemberantasan Tipikor ini lebih adil dibandingkan PP 94 karena hukuman PNS yang melakukan pungutan liar (pemerasan) lebih berat dari PNS yang menerima gratifikasi. Namun, sayangnya memang PP 94 tidak menimbang UU Pemberantasan Tipikor, seperti yang sudah kita singgung sebelumnya.

Sampai sini sebenarnya pertanyaan kita mengapa PP 94 menetapkan hukuman praktik menerima gratifikasi lebih berat dari pungutan liar (pemerasan) belum terjawab. Setelah ini, semoga dari para pembaca tulisan ini ada yang berkenan menyumbang pengetahuan dan pemikirarannya untuk menjawab pertanyaan atau mengoreksi bahasan kita di atas.

Terlepas dari keadilan dalam menghukum penerima gratifikasi dan pelaku pungutan liar (pemerasan), ada satu kejanggalan UU Pemberantasan Tipikor.

Pasal 5 ayat (1) berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya” dan ayat (2) berbunyi, “Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Pasal 5 ayat (1) dan (2) berbicara mengenai penyuapan, baik penyuapan dibayar di muka maupun penyuapan dibayar di belakang. Ancaman pidananya adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun