Tulisan ini adalah lanjutan dari pembahasan sebelumnya yang tautannya dapat kita buka di sini:
Setelah gagal mendapatkan perbandingan dengan PP 53, kita coba membandingkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya kita sebut UU Pemberantasan Tipikor).
Meski pada bagian “menimbang” PP 53 dan PP 94 tidak ada UU Pemberantasan Tipikor, tidak ada salahnya bila kita menjadikan UU Pemberantasan Tipikor sebagai pembandingan.
Bila tidak salah menafsirkan dan menghitung, pada UU Pemberantasan Tipikor ini terdapat minimal 12 pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana korupsi bagi PNS.
Berikut ini adalah 12 pasal tersebut:
Pasal 5 ayat (1) berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya” dan ayat (2) berbunyi, “Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”
Pasal 8 berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.”
Pasal 11 berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”
Pasal 12 huruf a berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;”
Pasal 12 huruf b berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;”
Pasal 12 huruf e berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;”
Pasal 12 huruf f berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;”
Pasal 12 huruf g berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;”
Pasal 12 huruf h berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang undangan;”
Pasal 12 huruf i berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”
Pasal 12 B ayat (1) huruf a berbunyi, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;” dan ayat (2) berbunyi, “Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Pasal 12 B ayat (1) huruf b berbunyi, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum” dan ayat (2) berbunyi, “Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Lalu, pasal manakah dari UU Pemberantasan Tipikor yang mewakili praktik menerima gratifikasi yang dilakukan oleh A dan praktik pungutan liar (pemerasan) yang dilakukan oleh B?
Pasal yang mewakili praktik menerima gratifikasi yang dilakukan oleh A adalah Pasal 11, pasal yang mengatur pidana bagi PNS yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Kok Pasal 11? Mengapa tidak Pasal 12 B? Bukankah pada Pasal 12 B jelas ada kata “gratifikasi”?
Memang sih pada Indonesia’s Money Laundering Risk Assessment on Corruption (Sector Risk Assessment Tipikor) yang diterbitkan oleh KPK, Polri, Kejaksaan Agung, dan PPATK pada tahun 2017 pun mengatakan bahwa Pasal 12 B ini masuk dalam kategori gratifikasi.
Namun, bila kita lebih teliti melihat bunyi kalimat pasalnya, maka kita akan sepakat bahwa pasal ini lebih masuk dalam kategori penyuapan. Pasal 12 B berbunyi, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: ....” Jadi Pasal 12 B ini memang berbicara mengenai praktik PNS yang menerima gratifikasi (pemberian dalam arti luas), tetapi gratifikasi tersebut diperoleh akibat dari PNS melakukan kesalahan prosedur, bukan akibat sekadar PNS mempunyai kewenangan dan/atau jabatan.
Ancaman pidana dari pelanggaran Pasal 12 B (penyuapan) ini adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00. Ini lebih berat dari pelanggaran Pasal 11 (menerima gratifikasi) yang berupa pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00.
Jadi akan lebih masuk logika bahwa Pasal 12 B ini berbicara mengenai praktik penyuapan, bukan mengenai menerima gratifikasi.
Selanjutnya, pasal yang mewakili praktik pungutan liar (pemerasan) yang dilakukan oleh B adalah Pasal 12 huruf e, pasal yang mengatur pidana bagi PNS yang menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Ancaman pidana dari pelanggaran Pasal 12 huruf e ini adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.
UU Pemberantasan Tipikor mengancam PNS yang menerima gratifikasi dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00. Adapun PNS yang melakukan pungutan liar (pemerasan) diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.
PP 94 mengancam PNS yang menerima gratifikasi dengan Hukuman Disiplin berat, yaitu (1) penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan; (2) pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan; atau (3) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS. Adapun PNS yang melakukan pungutan liar (pemerasan) diancam dengan Hukuman Disiplin sedang atau Hukuman Disiplin berat.
Jadi, bila kita membandingkan ancaman pidana antara menerima gratifikasi dan pungutan liar (pemerasan), UU Pemberantasan Tipikor ini lebih adil dibandingkan PP 94 karena hukuman PNS yang melakukan pungutan liar (pemerasan) lebih berat dari PNS yang menerima gratifikasi. Namun, sayangnya memang PP 94 tidak menimbang UU Pemberantasan Tipikor, seperti yang sudah kita singgung sebelumnya.
Sampai sini sebenarnya pertanyaan kita mengapa PP 94 menetapkan hukuman praktik menerima gratifikasi lebih berat dari pungutan liar (pemerasan) belum terjawab. Setelah ini, semoga dari para pembaca tulisan ini ada yang berkenan menyumbang pengetahuan dan pemikirarannya untuk menjawab pertanyaan atau mengoreksi bahasan kita di atas.
Terlepas dari keadilan dalam menghukum penerima gratifikasi dan pelaku pungutan liar (pemerasan), ada satu kejanggalan UU Pemberantasan Tipikor.
Pasal 5 ayat (1) berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya” dan ayat (2) berbunyi, “Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”
Pasal 5 ayat (1) dan (2) berbicara mengenai penyuapan, baik penyuapan dibayar di muka maupun penyuapan dibayar di belakang. Ancaman pidananya adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp250.000.000,00.
Pasal 12 huruf a berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;”
Pasal 12 huruf b berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;”
Pasal 12 huruf a dan b berbicara mengenai penyuapan. Pasal 12 huruf a mengenai penyuapan dibayar di muka, sedangkan Pasal 12 huruf b mengenai penyuapan dibayar di belakang. Ancaman pidananya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00.
Jadi Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 12 huruf a dan b ini sama-sama berbicara mengenai penyuapan. Yang membedakan adalah ancaman hukumannya, hukuman atas pelanggaran Pasal 5 ayat (1) dan (2) lebih ringan dari Pasal 12 huruf a dan b.
Apakah terasa janggal bagi kita? Kok bisa?
Sekali lagi, semoga dari para pembaca tulisan ini ada yang berkenan menyumbang pengetahuan dan pemikirarannya untuk menjawab pertanyaan atau mengoreksi bahasan kita di atas.
Pertanyaan yang belum kita dapatkan jawabannya adalah:
- Mengapa PP 94 menghukum PNS yang menerima gratifikasi lebih berat dari yang melakukan pungutan liar (pemerasan)?
- Mengapa pada UU Pemberantasan Tipikor ada 2 pilihan hukuman terhadap PNS yang melakukan penyuapan (Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 12 huruf a dan b)?
Referensi:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 6 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
ojk.go.id. Indonesia’s Money Laundering Risk Assessment on Corruption (Sector Risk Assessment Tipikor). Diakses pada 15 September 2023, dari https://www.ojk.go.id/apu-ppt/id/informasi/nrasra/Documents/SRA%20Tindak%20Pidana%20Korupsi.pdf
hukumonline.com. Diakses pada 19 September 2023, dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-menimbang-dan-mengingat-dalam-peraturan-perundang-undangan-lt571458c928b51/
kbbi.kemdikbud.go.id. KBBI Daring. Diakses pada 22 September 2023, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H