Mohon tunggu...
Darmawan bin Daskim
Darmawan bin Daskim Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang petualang mutasi

Pegawai negeri normal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pilih Jadi Koruptor atau Gratifikator?

8 Desember 2021   15:22 Diperbarui: 12 Desember 2021   21:45 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lelang barang gratifikasi. (sumber foto: KOMPAS/PRIYOMBODO via kompas.com)

Gratifikasi negatif dan positif?

Mendadak muncul kerut dahi saat mencari definisi gratifikasi di KBBI. Selain didapat pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh sebagai definisi gratifikasi, pun didapat ada gabungan kata gratifikasi negatif dan gratifikasi positif.

Gratifikasi negatif didefinisikan pemberian yang dilakukan dengan tujuan pamrih. Sedangkan gratifikasi positif didefinisikan pemberian yang dilakukan dengan niat tulus sebagai tanda kasih, tanpa mengharapkan balasan apa pun.

Bila kaitannya dengan layanan publik, gratifikasi berdasarkan KBBI dapat diartikan bahwa gratifikasi adalah sesuatu (uang, benda, fasilitas, janji, dan lainnya) yang diberikan oleh pengguna layanan publik kepada pemberi layanan publik atau dalam hal ini pejabat publik.

Isi kepala agak berontak saat melihat definisi gratifikasi positif. Niat tulus sebagai tanda kasih, tanpa mengharapkan balasan apa pun?

Berdasarkan pengalaman sebagai pejabat publik yang melayani pengguna layanan publik yang berulang kali membutuhkan layanan, sangat meragukan pengguna layanan memberi gratifikasi kepada pejabat publik tanpa ada harapan balasan apa pun di kemudian hari.

Setidaknya, lewat gratifikasi yang diberikan, pengguna layanan publik berharap dapat membina hubungan baik secara personal dengan pejabat publik. Dengan begitu, pengguna layanan publik berharap mendapatkan prioritas layanan, atau bahkan "kebijakan" di saat ada masalah dengan syarat layanan atau lainnya.

Jadi gratifikasi terkait jabatan berpotensi jadi korupsi?

Bukan hanya berpotensi korupsi, melainkan gratifikasi terkait jabatan memang masuk dalam tindak pidana korupsi. 

Silakan kita cek dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Mungkin banyak dari kita yang isi kepalanya masih berontak saat mendengar bahwa gratifikasi terkait jabatan masuk kategori korupsi.

Korupsi konotasinya mencuri uang negara, mencuri uang rakyat. Sedangkan gratifikasi terkait jabatan adalah tanda terima kasih, tanda apresiasi, tidak merugikan negara, tidak merugikan rakyat. Pembenaran-pembenaran tersebut yang mungkin masih banyak dari isi kepala kita, khususnya para pejabat publik.

Seorang pejabat publik, ASN, atau PNS mungkin tidak ada keinginan melakukan korupsi karena malu dicap koruptor, sebuah kata yang memang terdengar sangat "kotor". Tetapi bagaimana dengan gratifikasi terkait jabatan?

Malukah disebut gratifikator? Sebuah kata yang dalam KBBI pun tidak ada.

Selain telinga mendengarnya tidak "sekotor" kata korupsi, gratifikasi terkait jabatan ini cenderung modusnya lebih aman karena kedua belah pihak antara pengguna layanan publik yang memberi dan pejabat publik yang menerima gratifikasi saling mempunyai kepentingan dan keuntungan.

Karenanya, walaupun hukuman disiplin PNS dan ketentuan hukum tindak pidana korupsi mengancam bila terbukti, praktik gratifikasi terkait jabatan ini masih sangat berpotensi dipraktikkan dalam layanan publik.

Bila dikatakan masih sangat berpotensi, lalu bagaimana cara memberantas praktik gratifkasi terkait jabatan?

Di saat ancaman hukuman tidak membuat jera, di saat sistem layanan publik masih terbuka untuk praktik gratifikasi terkait jabatan, dan sikap permisif dari para pelaku layanan publik, mungkin metode penyadaran yang bisa kita andalkan.

Sejalan dengan tema Hari Antikorupsi Sedunia 2021 yang dicanangkan KPK "Satu Padu Bangun Budaya Antikorupsi", upaya penyadaran dengan membangun budaya antikorupsi harus terus-menerus dilakukan tanpa henti.

Untuk mendapatkan metode yang efektif dalam membangun budaya antikorupsi, mungkin ada baiknya kita mencoba bertanya kepada pejabat publik yang tidak menerima gratifikasi terkait jabatan.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman melakukan internalisasi antigratifikasi dan antikorupsi di internal instansi, ditemukan beberapa alasan atau penyebab mengapa pejabat publik tidak menerima gratifikasi terkait jabatan dari pengguna layanan publik.

Yang pertama adalah karena posisi jabatan yang bersangkutan tidak berhubungan langsung dengan pengguna layanan publik atau biasa orang menyebutnya "tempat kering".

Selain pejabat publik senior, pejabat layanan publik pada kondisi pertama tersebut biasanya didominasi oleh generasi muda yang baru lulus kuliah atau sekolah dan baru berstatus sebagai pejabat publik.

Kondisi pertama ini yang perlu adanya penguatan internalisasi antigratifikasi/antikorupsi dalam rangka menyiapkan mental di saat bertemu dengan kondisi posisi jabatan yang berhubungan langsung dengan pengguna layanan publik.

Yang kedua adalah karena sudah adanya kesadaran diri akan antigratifikasi/antikorupsi. Kondisi ini tidak mengenal posisi jabatan "kering" atau pun "basah", di mana pun dan apa pun kondisinya, yang bersangkutan tetap memegang teguh prinsip antigratifikasi/antikorupsi.

Beda dengan pejabat publik pada kondisi pertama yang mungkin belum teruji, pejabat publik pada kondisi ini sudah teruji di saat yang bersangkutan mendapatkan posisi jabatan "basah", dia tak "bergeming" dari prinsipnya.

Kesadaran antigratifikasi/antikorupsi pada kondisi kedua bisa muncul dengan beberapa latar belakang.

logo-hakordia-2021-61b05b2262a7047c70563332.jpg
logo-hakordia-2021-61b05b2262a7047c70563332.jpg
Latar belakang yang pertama adalah yang bersangkutan taat terhadap kebijakan yang ada. Taat kepada ketentuan Disiplin PNS, ketentuan UU Tipikor, dan ketentuan hukum lainnya.

Latar belakang yang kedua adalah yang bersangkutan taat terhadap aturan agama. Tanpa adanya ketentuan Disiplin PNS, ketentuan UU Tipikor, dan lainnya, yang bersangkutan tetap antigratifikasi/antikorupsi sesuai yang diajarkan agamanya.

Latar belakang yang ketiga adalah pengalaman menyakitkan manakala melakukan praktik gratifikasi terkait jabatan.

Beberapa kejadian musibah yang menimpa diri dan keluarga akhirnya mengantarkan yang bersangkutan pada pemahaman dan kesadaran bahwa apa yang dilakukannya, yaitu terus-menerus menerima gratifikasi dari pengguna layanan akan berakibat negatif tidak hanya di akhirat kelak, di dunia pun sudah mendapatkannya.

Meski terkadang mendapatkan "penolakan" di saat internalisasi antigratifikasi/antikorupsi, latar belakang kedua dan ketiga di atas bisa jadi metode paling efektif dalam membangun kesadaran akan antigratifikasi/antikorupsi.

Akhir kata, dengan momen Hari Antikorupsi Sedunia 2021 ini mari kita terus galakkan sikap antigratifikasi/antikorupsi tanpa kenal lelah dan keluh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun