***
Ketika Menjelang usia dewasa, Japar berkesempatan melancong ke ibu kota, Jakarta. Tempat anak-anak dari saudara perempuan ibunya meniti karir. Demi menghormati nasihat ibu, Japar memaksakan diri mampir dan menginap satu malam saja di rumahnya. Tak banyak waktu untuk berbincang dengan Nyonya Besar, karena ia sibuk berdandan di kamarnya ketimbang bertanya perihal kabar ibu Japar di kampung. Japar lebih nyaman berbicara dengan anjing piaraan ketimbang dengan tuan rumah. Nyonya Besar yang selalu menjadi kebanggaan saudara perempuan ibu Japar.Â
Beberapa hari kemudian Japar tiba di kampung. Di sana sudah menunggu saudara perempuan ibu, yang tak lain adalah ibu dari Nyonya Besar di Jakarta itu. Entah kenapa ia pulang bukan di waktu yang semestinya, dan begitu antusias menunggu Japar. Ibu tidak menanyakan oleh-oleh dari Jakarta, tapi ia begitu ingin melihat isi tas punggung Japar. Setelah teliti memeriksa semua isinya. ibu Japar  menggeleng kepala tiga kali pada saudara perempuannya.Â
Ada apa rupanya? Japar bertanya. Keduanya diam dan berlalu begitu saja. Tak lama berselang akhirnya Japar paham, ternyata kedatangan saudara perempuan ibu adalah kedatangan sebagai utusan guna memastikan apakah ada barang penting dalam tas punggung Japar. Dalam perjalanan Japar dari Jakarta menuju kampung, saudara perempuan ibu telah menerima pesan penting. Ikat pinggang suamiku hilang tolong periksa isi tas Japar begitu sampai di kampung. Kepulangan Japar adalah kepulangan sebagai buronan yang mungkin lebih berbahaya dari teroris.Â
Sepatah kata pun ibu Japar tak memberikan pembelaan. Ia relakan anak laki-lakinya tertuduh maling. Untunglah kapak masa kecil sudah dibuang jauh-jauh. Mungkin karena sudah terlatih untuk menerima keterhinaan, Japar tidak membuat prahara di hari nahas itu. Ia menggulung amarah dan kembali bergaul dengan binatang-binatang kesayangannya. Namun, tuduhan maling itu tak pernah bisa ia maafkan.Â
Begitulah rupa-rupa prahara kecil yang telah membinasakan keriangan masa belia Japar di tanah kelahiran. Kampung yang berhasil membuat ia menjadi pecandu kesepian. Kampung tempat bersemayamnya Bijo Taji yang disembelih atas nama kegembiraan. Kampung yang tak akan pernah menganggap Japar berguna sebelum ia pulang menghela keberlimpahan. Kampung yang hendak ia lupakan meski kenangan masa kecil itu telah menjadi darah di tubuh lapuknya... ***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H