Mohon tunggu...
Negative Creep
Negative Creep Mohon Tunggu... Buruh - Introvert
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Aku adalah sekuntum bunga yang tumbuh di hamparan taman bunga. Jadi, mungkin saja tak kelihatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tragedi Penyembelihan Ayam Jago

2 Juli 2019   14:28 Diperbarui: 2 Juli 2019   14:37 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah lama Japar memendam hasrat hendak melihat mobil sedan. Maklum, kampungnya teramat udik. Jalanannya nyaris belum pernah dilintasi mobil sedan. Pabila ada mobil yang melintas, itu pun cuma truk rongsok pengangkut kayu bakar yang datang Senin dan Kamis, dengan suara mesin yang memekakkan gendang telinga

Di kala itu, Japar hanya tahu mobil sedan dari sinema akhir pekan di layar televisi hitam-putih milik tetangga. Melihat mobil sedan dari kejauhan, bagi Japar seolah mengamati malaikat Ridwan dalam wujud benda, dan gairah ingin menghampirinya barangkali seperti gairah Musa yang hendak bertemu Tuhan di bukit Thursina. 

Mujurlah bagi Japar, karena di sebuah petang, mobil sedan mengkilat tiba-tiba terparkir di depan halaman rumahnya. Keluarga kecil saudara perempuan ibunya sedang berlibur. Mereka tinggal di kota provinsi dan pulang kampung dengan mengendarai sedan baru. Japar pun mendekatinya, mengendap-endap dengan segenap rasa penasaran. 

"Jangan kau pegang. Parr! Itu mobil mahal. Lecet sedikit bisa tergadai dua musim panen sawah ibumu untuk menggantinya," bentak suami dari kakak perempuan ibunya. Hardikan yang disertai suara gigi bergemeretuk disertai dengan mata membelalak.

Dengan Seketika itu mental Japar menciut. Gairahnya lumpuh tiba-tiba. Rasa ingin tahunya berubah jadi gemetar dan gigil di lututnya. yang hanya bisa ia bereskan dengan melarikan diri secepat mungkin. Perlu dicatat. Japar baru mendekat dengan cara mengendap-endap, belum sungguh-sungguh bersentuhan dengan bodi sedan itu! 

Sejak itu Japar tidak lagi berani mendekat bila mobil sedan itu pulang di waktu lain. Sedapat-dapatnya ia hanya coba memicingkan mata sebelum menaiki tangga kayu rumahnya. Niat untuk membusungkan dada di hadapan kawan-kawan sembari menceritakan pengalaman menaiki sedan baru meski dalam keadaan mesin mati ia kuburkan hidup-hidup. 

Setiap kali keluarga saudara perempuan ibunya pulang, Japar lebih suka tidak berada di rumah. Ia lebih gembira saat bergabung dengan teman-teman sesama penggembala kambing, atau kawan-kawan sesama penggila adu ayam. 

Dalam kesendirian di tengah padang ilalang, sambil menunggu kambing-kambing piaraannya kenyang, pikiran Japar kerap berimajinasi. Ia membayangkan kambing-kambing itu kelak akan berkembangbiak. Japar akan mengantinya dengan beberapa ekor sapi muda. Dan, setelah sapi-sapi itu beranak-pinak, akan tibalah saatnya Japar menggantinya dengan sebuah mobil sedan. 

Di kampung itu pula Japar berubah menjadi pribadi yang ganas. Apa pasal? Lagi-lagi keluarga saudara perempuan ibu yang sedang pulang kampung. Rumpun tebu yang setiap hari ia siangi, dan kelak setelah besar dan memanjang akan ia tebang. Akan ia jadikan bekal penyangga dahaga bersama teman-teman penggembala kambing. Setelah matang dan siap untuk dipanen, yang tersisa dari tebu itu hanya akar dan tunggul-tunggulnya. Tiga orang anak dari saudara perempuan ibu telah mendahuluinya. 

Mereka menyantap potongan-potongan tebu sambil berjingkrak-jingkrak dengan segenap kegirangan anak-anak kota yang sedang piknik. Tak ayal Japar pun murka. Bujukan ibu tiba. Masih ada banyak rumpun tebu. Tak usah risaukan tebu-tebu yang sudah ditebang. Japar memadamkan nyala kemarahan. Tak ada protes. Tak ada keributan. Tapi Japar, pemilik paling absah dari rumpun tebu yang ditebas begitu saja, tak bisa mengikhlaskan kesewenang-wenangan itu, bahkan hingga ia tumbuh dewasa. 

Beberapa hari kemudian ada makan malam bersama. Keluarga saudara perempuan ibu Japar tampak lahap. Suami dan tiga anaknya yang rakus alang-kepalang seperti orang yang tidak makan tiga hari. sampai berkeringat saking lezatnya hidangan di meja makan. 

Lalu, tibalah giliran Japar menyentuh piring lauk, dan rupanya di situlah rahasia besar kelahapan mereka. Betapa makan malam mereka tidak akan semarak? Lauk utama yang tersuguh di meja adalah daging ayam jago muda kesayangan Japar. Si Bijo Taji yang berbulan-bulan dirawat Japar dengan kelembutan dan kasih sayang telah disembelih tanpa sepengetahuan dirinya. Inilah penyembelihan kedua setelah kasus mobil sedan, yang telah merenggut keberanian masa kanak-kanak Japar.

Selera makan Japar musnah dalam hitungan detik. Mana mungkin ia tega mengunyah-ngunyah daging ayam jago yang ia belai-belai dan ia mandikan saban pagi. Piring di hadapan Japar melayang, lalu bersarang tepat di kening salah satu anak saudara perempuan ibunya. Pecah berkeping lima. Beling dan butiran-butiran nasi bergelimang, berserak di meja dan lantai. Prahara tak terbendung. 

Melihat anaknya bersimbah luka, suami dari saudara perempuan ibu bangkit hendak membalas serangan Japar. Dengan Sigap Japar meloncat dan melesat lari menuju dapur. Bukan lantaran takut, melainkan untuk mengambil sebilah kapak pembelah kayu yang tergeletak tak jauh dari tungku. Japar berbalik secepat kibasan sayap Bijo Taji saat bertarung di gelanggang aduan. Mata kapak menghunjam permukaan meja makan. 

Ayunan kedua terarah tepat di rusuk kiri suami dari saudara perempuan ibu. Mata kapak menyilang tipis dan merobek kemeja putihnya. Anak-anak manis yang kekenyangan itu menjerit-jerit ketakutan dan lari terkencing-kencing. Saudara perempuan ibu terpaku diam dengan muka pucat pasi. Ketakutan jenis itulah yang melanda Japar  saat suaminya menghardik dalam peristiwa mobil sedan, berbulan-bulan sebelumnya. Japar menatap mata mereka satu per satu, dengan kapak yang masih dalam genggaman. Mati kalian semua! Batin Japar, dalam amarah yang meluap-luap. 

"Anak ayam jantan kita masih banyak, Nak. Kau bisa miliki semuanya. Asal kau buang kapak itu jauh-jauh!" bujuk ibu sambil menangis terisak-isak. 

"Meski semua ayam jantan di kampung ini disedekahkan padaku, kematian Bijo Taji tetap kematian. Dan kalian adalah pembunuhnya", balas Japar dengan sorot mata buas. 

Japar akhirnya berhenti. Amuk-amarah ia gumpal baik-baik. Segera ia enyah dari rumah itu. Mereka beruntung. Kematian Bijo Taji tak berbalas kematian. 

***

Sejak prahara di meja makan itu Japar makin gemar menyendiri. Setiap ada keramaian di rumahnya terutama karena saudara-saudara ibu pulang dari rantau, ia akan mundur teratur. Japar tak peduli mereka bagi-bagi uang dengan cara salam tempel, atau mereka kenduri bersama sanak-saudara yang lain. Japar lebih bersukaria dengan kambing-kambing piaraan, dan ayam jago generasi baru, meski tak akan pernah bisa menggantikan posisi almarhum Bijo Taji. 

Japar merasa lebih pantas bersaudara dengan kawanan binatang ketimbang berbasa-basi dengan sanak-saudara yang sedang berkumpul di rumahnya. hanya untuk mengharapkan uang receh. Japar g tak tergiur untuk bergaul apalagi berbaur dengan anak-anak kota dengan segala kemewahan dan keangkuhan yang mereka bawa pulang. 

Tapi, orang-orang kampung Japar ramah menyambut dan melayani mereka. Karib-kerabat Japar lebih hormat dan gemar membungkuk-bungkuk pada orang kaya ketimbang orang jujur, apalagi kaum yang tak mujur. Di mata mereka, keluarga saudara-saudara ibu Japar yang berlimpah harta adalah contoh tentang orang-orang yang berhasil menghela peruntungannya. Keluarga besar Japar menjadi harum namanya, tampak sangat mulia di permukaan, padahal tercela luar biasa di kedalaman. Bergonta-ganti mobil saban tahun, berderma di sana-sini, tapi perangainya membusuk layayaknya bau kaus kaki 

***

Ketika Menjelang usia dewasa, Japar berkesempatan melancong ke ibu kota, Jakarta. Tempat anak-anak dari saudara perempuan ibunya meniti karir. Demi menghormati nasihat ibu, Japar memaksakan diri mampir dan menginap satu malam saja di rumahnya. Tak banyak waktu untuk berbincang dengan Nyonya Besar, karena ia sibuk berdandan di kamarnya ketimbang bertanya perihal kabar ibu Japar di kampung. Japar lebih nyaman berbicara dengan anjing piaraan ketimbang dengan tuan rumah. Nyonya Besar yang selalu menjadi kebanggaan saudara perempuan ibu Japar. 

Beberapa hari kemudian Japar tiba di kampung. Di sana sudah menunggu saudara perempuan ibu, yang tak lain adalah ibu dari Nyonya Besar di Jakarta itu. Entah kenapa ia pulang bukan di waktu yang semestinya, dan begitu antusias menunggu Japar. Ibu tidak menanyakan oleh-oleh dari Jakarta, tapi ia begitu ingin melihat isi tas punggung Japar. Setelah teliti memeriksa semua isinya. ibu Japar  menggeleng kepala tiga kali pada saudara perempuannya. 

Ada apa rupanya? Japar bertanya. Keduanya diam dan berlalu begitu saja. Tak lama berselang akhirnya Japar paham, ternyata kedatangan saudara perempuan ibu adalah kedatangan sebagai utusan guna memastikan apakah ada barang penting dalam tas punggung Japar. Dalam perjalanan Japar dari Jakarta menuju kampung, saudara perempuan ibu telah menerima pesan penting. Ikat pinggang suamiku hilang tolong periksa isi tas Japar begitu sampai di kampung. Kepulangan Japar adalah kepulangan sebagai buronan yang mungkin lebih berbahaya dari teroris. 

Sepatah kata pun ibu Japar tak memberikan pembelaan. Ia relakan anak laki-lakinya tertuduh maling. Untunglah kapak masa kecil sudah dibuang jauh-jauh. Mungkin karena sudah terlatih untuk menerima keterhinaan, Japar tidak membuat prahara di hari nahas itu. Ia menggulung amarah dan kembali bergaul dengan binatang-binatang kesayangannya. Namun, tuduhan maling itu tak pernah bisa ia maafkan. 

Begitulah rupa-rupa prahara kecil yang telah membinasakan keriangan masa belia Japar di tanah kelahiran. Kampung yang berhasil membuat ia menjadi pecandu kesepian. Kampung tempat bersemayamnya Bijo Taji yang disembelih atas nama kegembiraan. Kampung yang tak akan pernah menganggap Japar berguna sebelum ia pulang menghela keberlimpahan. Kampung yang hendak ia lupakan meski kenangan masa kecil itu telah menjadi darah di tubuh lapuknya... *** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun