Di tengah dilema perempuan akibat pandemic Covid-19 yang sudah memasuki tahun 2021, perempuan banyak mengalami kerentanan. kebijakan pemerintah untuk menangani pandemic ternyata malah membawa dampak negatif bagi perempuan di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah yang mengharuskan aktivitas keluarga dilakukan dari rumah.
Kebijakan tersebut telah membuat perempuan rentan mengalami kekerasan akibat beban beban pekerjaan rumah tangga yang berlipat ganda dan berkurangnya pendapatan keluarga yang berkurang sementara pengeluaran bertambah. Hal ini disebutkan dalam  kajian Komnas Perempuan dengan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) yang dirilis pada 16 Oktober 2020.
Di Jakarta saja, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Jakarta mendapat 710 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi COVID di Indonesia dari 16 Maret sampai dengan 23 November 2020, menurut LBH Apik dalam siaran persnya, Selasa (24/11/2020).
Bagaimana perempuan bisa bahagia? Jika kasus kekerasan masih menghampiri perempuan? Apa disebut bahagia jika perempuan mengalami kekerasan baik di ranah domestik maupun ranah publik?
Pemberdayaan ekonomi perempuan yang digadang-gadang hanya kamuflase. Alih-alih ingin membahagiakan perempuan malah memposisikan perempuan pada kerentanan dan kebimbangan. Perempuan diseru untuk menyelamatkan himpitan ekonomi keluarga. Padahal negeri ini kaya akan sumber daya alam. Tapi tidak membuat perempuan keluar dari himpitan ekonomi. Tidak membuat perempuan bahagia tengah kekayaan alam yang melimpah.
Krisis ekonomi perempuan yang terjadi di tengah pandemic  hanya menunjukkan kegagalan kapitalisme sekuler. Alur  partipasi perempuan dalam bidang ekonomi hanya untuk menutupi kerapuhan ekonomi Kapitalisme. Kesetaraan gender  selalu diarahkan agar perempuan ikut menghasilkan uang, bernilai secara materi dan bisa membuat perempuan bahagia. Namun bagaikan jauh panggang dari api. Kebahagiaan perempuan tak dapat diraih.  Yang lebih sering ditemui adalah dilema antara berada di rumah atau berdiri sebagai perempuan pencari uang. Meninggalkan perannya sebagai seorang ibu, mengejar kesetaraan dan kebebasan yang tidak pernah bisa membeli kebahagiaan.
Jelas sudah, aqidah sekulerisme dengan sistem ekonomi kapitalismenya dan sistem politik demokrasinya gagal membuat perempuan bahagia. Â Di tengah pandemic covid-19 atau di kondisi normal. Ini sangat kontras dengan sistem kehidupan Islam. Islam mendudukkan peran perempuan yang utama adalah sebagai seorang ibu (Al umm)dan manajer rumah tangga (rabbatul bait).Â
Perempuan bisa menikmati hidup di rumah dengan praktik resep masak sajian berselera, bercocok tanam, mendampingi anak bermain dan belajar menuntut ilmu didudukkan sebagai aktivitas mulia dan berbuah surga.Â
Di sinilah letak pemberdayaan perempuan dalam Islam, bukan karena materi tetapi karena peran vitalnya mendidik generasi pencetakbcalon pemimpin masa depan.
Krisis ekonomi akibat pandemic covid-19 juga tidak terjadi dalam sistem Islam. Di samping kekuatan ekonomi dalam sistem Islam, sistem kehidupan Islam tidak akan membiarkan pandemic ini berlarut-larut, apalagi berlanjut sampai pergantian tahun dan tidak tahu kapan akan berakhir.Â
Padahal Rasulullah shalallahu alaihi wa salam dan para Khalifah sesudah beliau telah mencontohkan bagaimana  menghadapi wabah mematikan dengan mengkarantina wilayah yang tertimpa wabah agar tidak menyebar ke luar wilayah. Niscaya, perempuan tidak akan mengalami efek domino dari kebijakan yang selalu menimbulkan masalah.