"Jemput keponakanku dan lekas pulang. Percayalah, suatu saat kamu akan lebih bahagia. Kuncinya, bersabarlah dan selalu bersyukur."
Satu usapan lembut di kepalaku mengakhiri percakapan kami sebelum Bang Daren benar-benar pergi. Aku mengerjap dan meyakinkan diri tidak sedang terjebak dalam halusinasi.
"Daren Al Hakim."
Sebuah nama tertulis di samping makam Abah dan Umi. Kakakku memang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Namun, baru saja aku merasakan hal di luar nalar yang mungkin termasuk gejala gangguan mental.
Cuitan-cuitan di kepalaku makin riuh hingga keningku berdenyut. Aku merasa penat dan pusing. Aku pun memutuskan keluar dari makam setelah berpamitan pada mereka, tiga sosok yang telah berpulang lebih dulu.
Waktu mendekati siang hari, tetapi matahari masih bersembunyi di balik selimut abu-abu. Aku menuju sekolah anakku yang terletak tidak jauh dari makam. Anakku menjadi siswa terakhir yang dijemput oleh orang tuanya.
"Apakah Ibu sedang sedih?"
Gelengan kepala dan sedikit senyuman cukup sebagai jawaban atas pertanyaan anakku.
"Aku, kan, udah tidak nakal lagi. Aku tidak merengek minta jajan. Aku udah jadi anak baik. Kenapa Ibu masih murung?"
Seandainya, mulutku tidak mampu menutup rapat-rapat, dia tentu akan tahu luka di hati ibunya. Aku akan menciptakan ruang di otaknya sehingga penuh dengan penghakiman sepihak.
"Maafkan Ibu yang belum bisa menepati janji, ya?"