Kedua hidungku mampat setelah menangis sementara waktu. Sekuat tenaga, aku menghirup udara agar napas kembali lega.
"Kita pulang, yuk."
Aku mendongak saat mendengar suara lelaki yang sangat kalem.
"Mengapa nangis di makam?"
Tangan Daren--kakak kandungku--menarik tangan adiknya yang sedang rapuh ini.
"Aku hanya kangen mereka."
Lengkung tipis terukir di mulut kakakku yang hampir tidak pernah berkata kotor.
"Kalau kamu sedang boong keliatan dari idung yang kembang kempis."
"Masa?"
"Tapi bagus, sih. Perempuan mulia itu yang mampu menjaga aib pasangan. Seburuk apa pun suami, istri wajib menutupinya."
"Abang sotoy!"