Aku membiarkan tangis tumpah sejadi-jadinya. Aku ingin beban di dada lekas berkurang, bahkan hilang kalau pun bisa. Mungkin, tersisa sedikit ruang di sepanjang hati yang belum terjamah luka karena kadang kala aku masih bisa tenang.
"Menangislah sampai ada kelegaan."
Afirmasi itu kuberikan untuk diri sendiri yang terlalu lama tertekan oleh rasa nrimo.
Sebagai perempuan yang menyandang status istri bahagia, aku harus berpura-pura dalam segala hal. Namun, ketangguhanku terbatas. Kenyataannya, aku justru menciptakan luka di atas luka dengan sikap yang semu.
Rumah besar, perabotan lengkap, dan sederet penampakan wow yang menggambarkan kesuksesan suami hanyalah kamuflase. Tenagaku tetaplah sumber utama yang harus diabdikan tanpa pamrih.
"Suatu kewajaran semua tugas rumah ditunaikan oleh seorang istri sekaligus ibu."
Percuma saja menguliti teori kesetaraan gender karena di otak penonton yang tersemat adalah sebongkah pemakluman.
"Ibu, aku ingin beli ular tangga. Boleh, ya?"
"Ibu belikan es krim cup di sana."
"Ibu ...."
Rengekan anak kecil yang hanya dijawab dengan 'besok, ya' merupakan salah satu luka perempuan yang tampak beruang, tetapi bohong. Aku--perempuan yang menggenggam janji--harus selalu tersenyum dan terus meyakinkan anaknya bahwa suatu saat keinginannya pasti terkabul. Sayang, belum ada kemampuan meski sebatas lima ribu rupiah saja.