Membungkus Kenangan Ramadan-part 2
Sepulang dari tarawih, Anto-salah seorang tetangga-memberi kabar kepada Rozan dan bibinya kalau Niko sedang tawuran di lapangan kampung. Mereka pun segera menuju ke lokasi kejadian dengan hati was-was.
"Niko membawa amplop berisi uang, To?" Tanya bibi geram.
"Ya, Bik. Terus dihadang tuh sama anak kampung sebelah. Mau dipalak tapi Niko terus nglawan."
"Jangan-jangan itu uang THR milikmu, Zan."
"Entahlah, Bik. Yang penting kita ke sana dulu biar Niko nggak dihajar sama anak-anak kampung sebelah," sahut Rozan dengan nada khawatir.
"Benar, Zan. Soalnya Niko sendirian sedang mereka berlima. Warga malas melerai justru pada tidak acuh gitu, deh, tadi. Aku aja tadi hampir digebukin sama mereka gara-gara ketahuan nguping," timpal Anto.
Ternyata sesuai dugaan, Niko sudah babak belur dihajar oleh anak-anak berandal tersebut. Namun Niko tetap mempertahankan amplop di balik bajunya.
"Serahkan duitnya atau ...."
Salah seorang anak mengacungkan pisau. Akan tetapi seorang wanita tiba-tiba menjerit histeris.
"Hentikan, Nak!"
Suara tertawa penuh ejek menggema di tanah lapang. Anak-anak itu mencemooh Niko sebagai anak yang hanya mampu bersembunyi di ketiak emaknya.
"Bik! Ajarin anaknya, tuh! Tidak ada yang gratis di dunia ini meski cuma nongkis doang!"
Cuih!
Niko naik pitam saat tahu salah seorang dari mereka meludahi wajah ibunya. Dia pun bangkit hendak memukul si pelaku tapi sayang pemegang pisau menyadari sepak terjangnya. Lantas ditendangnya Niko hingga hingga kembali tersungkur.
"Rozaannnnnn!"
Niko dan ibunya berteriak serentak. Beberapa detik sebelum pisau menghujam Niko, Rozan sempat menjegal kaki pelaku. Namun naas, justru dia sendiri yang menjadi pelampiasan kemarahan lelaki remaja yang tengah kalap itu. Rozan pun pingsan bersimbah darah.
Anto yang sejak tadi memutuskan untuk lapor Pak RT akhirnya datang dengan rombongan warga. Lima begudal tanggung pun dapat dibekuk lalu diserahkan kepada pihak yang berwajib.
Hati wanita paruh baya tersebut tercabik. Tangis menghujani pipinya yang pucat. Dua lelaki yang menjadi tanggungannya tergolek di rumah sakit. Satu adalah anak kandungnya yang mendapat jahitan di dahi, tangan dan kaki. Satu lagi adalah keponakannya yang tengah kritis sebab mata pisau melukai perutnya terlalu dalam.
"Maafkan aku, Bu."
Tidak ada suara yang keluar dari seorang ibu selain anggukan disertai belaian penuh kasih. Niko makin tergugu saat tahu bahwa Rozan belum juga sadar.
"Bagaimana kalau Rozan tidak bisa bertahan? Aku menyesal, Bu."
"Kita berdoa kepada Allah agar Rozan selamat."
Niko kembali jatuh dalam pelukan ibunya. Begitu damai berada dalam dekapan pintu surganya. Sudah terlalu lama dia terperangkap dalam kenakalan yang melukai hati sang ibu. Kali ini dia tumpahkan segala sesal dalam tangis.
Angannya melayang. Rozan kerap kali dijadikan bahan pelampiasan kemarahannya. Iri telah menjadikan mata hatinya buta dan tuli. Secara kebetulan, dia pun tersesat ke  dalam pergaulan yang salah hingga mendapat stempel berandal cilik. Bahkan pesan dari almarhum ayahnya juga telah dilupakan begitu saja.
"Jadilah anak yang soleh. Hanya itu permintaan ayah, Ko."
Kerinduannya kepada sang ayah menyeruak begitu saja. Niko merangsek lebih erat di pelukan ibunya. Sesaat keduanya larut dalam suasana haru hingga perawat memberi tahu bahwa Rozan telah sadar. Dengan menggunakan kursi roda, Niko pun ikut ke ruang ICU. Atas izin dokter, ibu dan anak tersebut dapat masuk ke ruang ICU.
"Zan.... Maafkan aku, Zan."
Rozan menyambut genggaman tangan sepupunya. Dia tersenyum sambil mengangguk tipis.
"Jangan banyak gerak dulu, Zan. Nurut sama pak dokter biar cepat sembuh, ya."
"Ba ..., Bagaimana biaya rumah sakit ini, Bik?"
"Kamu tenang saja. Bibi masih punya simpanan untuk biaya rumah sakit kalian."
Sebenarnya Niko masih mau menemani Rozan tapi dokter tidak mengizinkan hingga mau tidak mau, dia dan ibunya kembali ke bangsal. Sementara Rozan tetap di ICU sampai kondisinya kelak dinyatakan stabil.
Suara takbir menggema di mana-mana sebagai tanda lebaran telah tiba. Namun Rozan dan Niko harus merayakannya di rumah sakit karena kesehatan mereka belum pulih. Meski begitu keduanya tampak bahagia dan rukun. Tidak ada lagi perang dingin di antara mereka. Seorang ibu yang membersamai mereka juga tidak kalah gembiranya. Ada mutiara hikmah di balik musibah tempo hari yaitu bersatunya dua saudara seperti masa kecil  mereka. Satu hal yang menggembirakan lagi adalah Niko dengan rela hati bersedia ikut ke pesantren setelah lulus SMP nanti. Rozan pun turut menyambut dengan senang hati.
Rozan memang sudah mendaftarkan diri ke pesantren sebelum ramadan. Tentu saja seizin bibinya dan Bu Barkah. Nah, usai perawatannya di rumah sakit, dia yang akan mengantarkan Niko ke pesantren. Kebetulan untuk anak yatim dan piatu, tidak dipungut biaya sedikitpun selama menempuh pendidikan di sana. Bahkan untuk biaya hidup juga telah ditanggung oleh pihak pesantren asuhan Ustaz Ghufron yang sangat dermawan tersebut.
"Rumah kita akan sepi selepas kalian masuk pesantren tetapi tidak apa-apa. Semoga Allah meridai setiap langkah kalian."
"Aamiin."
Mereka-bertiga-membungkus kenangan kelam yang terjadi di minggu terakhir ramadan dengan sujud syukur. Lantas terpahat doa paling khusyuk pada hari kemenangan, semoga mereka terlahir sebagai pribadi yang fitrah dalam segala hal.
*Tamat*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H