"Bagaimana kalau Rozan tidak bisa bertahan? Aku menyesal, Bu."
"Kita berdoa kepada Allah agar Rozan selamat."
Niko kembali jatuh dalam pelukan ibunya. Begitu damai berada dalam dekapan pintu surganya. Sudah terlalu lama dia terperangkap dalam kenakalan yang melukai hati sang ibu. Kali ini dia tumpahkan segala sesal dalam tangis.
Angannya melayang. Rozan kerap kali dijadikan bahan pelampiasan kemarahannya. Iri telah menjadikan mata hatinya buta dan tuli. Secara kebetulan, dia pun tersesat ke  dalam pergaulan yang salah hingga mendapat stempel berandal cilik. Bahkan pesan dari almarhum ayahnya juga telah dilupakan begitu saja.
"Jadilah anak yang soleh. Hanya itu permintaan ayah, Ko."
Kerinduannya kepada sang ayah menyeruak begitu saja. Niko merangsek lebih erat di pelukan ibunya. Sesaat keduanya larut dalam suasana haru hingga perawat memberi tahu bahwa Rozan telah sadar. Dengan menggunakan kursi roda, Niko pun ikut ke ruang ICU. Atas izin dokter, ibu dan anak tersebut dapat masuk ke ruang ICU.
"Zan.... Maafkan aku, Zan."
Rozan menyambut genggaman tangan sepupunya. Dia tersenyum sambil mengangguk tipis.
"Jangan banyak gerak dulu, Zan. Nurut sama pak dokter biar cepat sembuh, ya."
"Ba ..., Bagaimana biaya rumah sakit ini, Bik?"
"Kamu tenang saja. Bibi masih punya simpanan untuk biaya rumah sakit kalian."