Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Tendensi Politik Dibalik Isu TKA Ilegal China

8 Agustus 2016   23:46 Diperbarui: 9 Agustus 2016   00:06 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik mengikuti kegaduhan isu Tenaga Kerja Asing (TKA) ilegal belakangan ini, terutama dari cina, meski bukan termasuk isu baru.

Tahun 2015 yang lalu, ada kelompok politik di luar koalisi pemerintah, dimotori Wakil Ketua DPR dari PKS Fahri Hamzah melontarkan isu panas 10 juta pekerja China membanjiri Indonesia. Setelah pemerintah, melalui Menteri Ketenagakerjaan memberikan jawaban berdasarkan data-data, isu pun surut. Menurut data Kemnaker, jumlah total TKA dari seluruh negara tidak menyentuh angka 100 ribu tiap tahunnya.

Menurut analisis Menaker, angka 10 juta itu bisa jadi berasal dari target 10 juta wisatawan manca negara yang hendak dicapai pemerintah pada tahun 2020 nanti.

Naiknya (kembali) isu TKA ilegal China belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari dua tendensi politik. Pertama, makin dekatnya pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta, dimana sang petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang berasal dari etnik China dipastikan maju setelah mendapat kendaraan politik Koalisi Partai Golkar, Hanura dan Nasdem. Kedua, keinginan balas dendam politik dari pihak yang belum move on dari psikologi kekalahan Pilpres 2014 lalu.

Bila diidentifikasi, pihak yang memompa isu TKA ilegal China tidak lepas dari nama Yusril Ihza Mahendra (YIM), salah satu kandidat yang ingin menantang Ahok. Dengan porsi dan motif berbeda, terdapat pula nama Said Didu, yang sebelum resuffle kabunet jilid II menjadi staf khusus menteri ESDM. Di media sosial, akun-akun yang rajin menggoreng isu TKA ilegal China banyak yang berkaitan ke PKS dan jaringan HMI/KAHMI faksi Anas Urbaningrum.

Meskipun sebagai patron, Anas masih mendekam dipenjara akibat kasus korupsi, pasukannya di media sosial  rajin membantu kepentingan-kepentingan politik HMI Connection.

Singkat kata, nampaknya ada pihak yang ingin mengalahkan Ahok dengan cara mengobarkan sentimen anti China melalui isu TKA ilegal China ini.

Sejak awal, isu negatif yang ditempelkan pada masalah TKA ilegal China sebenarnya tidak didasarkan pada data akurat. Contoh, angka 10 juta TKA ilegal China, tuduhan TKA China masuk Indonesia tanpa paspor, kecurigaan TKA ilegal China akibat konsesi investasi China di Indonesia, isu diskriminasi gaji TKA ilegal China dengan TKI, dan sebagainya.

Paling lucu adalah isu yang akhir-akhir ini dilontarkan, yakni mempersoalkan perbedaan gaji antara TKA ilegal China dengan TKI. Lha, statusnya saja ilegal koq dipersoalkan gajinya, harusnya dilaporkan saja ke Kemnaker dan Imigrasi agar mereka segera diusir dan dikembalikan ke negara asal.

Dengan tanpa data-data yang akurat, terlihat para pihak yang menggoreng isu ini hanya mengandalkan potensi sentimen rasialis anti china yang diasumsikan masih mengeram di sebagian komunitas masyarakat. Targetnya, sentimen emosional anti china bisa berkobar di tengah rakyat. Secara psikologi politik, jika target ini bisa dicapai, maka kekalahan Ahok tinggal menunggu upacara peresmian.

Berikutnya, jika Ahok berhasil dikalahkan dan DKI dipimpin gubernur baru,  selanjutnya adalah membongkar berbagai kelemahan dan kesalahan Jokowi pada saat menjabat sebagai gubernur.  Terdapat asumsi cukup kuat di kalangan mereka bahwa Jokowi memiliki andil dalam kasus Sumber Waras, Reklamasi, korupsi pengadaan UPS dan kasus bus transjakarta.

Sehingga, mengalahkan Ahok menjadi kunci penting untuk mengumpulkan amunisi politik guna mengakhiri karir politik Jokowi sebagai presiden secepatnya. Minimal untuk mengalahkan Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang.

Keyakinan politik bahwa kekalahan Ahok akan menjadi pintu utama kehancuran Jokowi, sesungguhnya tidak bisa diterima akal sehat. Seolah faktor jatuh bangunnya Jokowi bergantung sepenuhnya di tangan Ahok. Bukankah yang terjadi justru sebaliknya, Ahok tidak akan pernah menjadi gubernur DKI, jika tidak karena "berkah" Jokowi. Tapi logika politik kadangkala memang abai terhadap akal waras.

Meski demikian, pilihan strategi politik semacam itu tentu boleh saja dilakukan. Meskipun secara norma dan etika menabrak nilai-nilai luhur bangsa yang tercerminkan dalam Pancasila. Seharusnya, semua pihak dalam upaya meraih kekuasaan menggunakan pendekatan strategi yang mencerdaskan rakyat, bukan sebaliknya.

Masalah TKA

Secara obyektif, terdapat beberapa masalah yang harus diselesaikan pemerintah secepatnya menyakut TKA ilegal secara keseluruhan, tidak hanya China.

Pertama, belum terbangunnya sistem informasi dan data orang asing yang terintegrasi antara Imigrasi, Kemnaker, Polri dan BIN. Imigrasi sebagai pintu perlintasan orang asing (apapun tujuannya masuk ke Indonesia) merupakan pihak yang memiliki data paling lengkap mengenai orang asing. Data berapa jumlah, dari negara mana, untuk tujuan apa, berapa lama tinggal dan kapan jadwal keharusan meninggalkan Indonesia, semua dimiliki Imigrasi.

Adalah penting dibangun sistem informasi dan data orang asing yang terkoneksi pada semua institusi yang beririsan tugas pokok dan fungsinya, termasuk kepada pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota. Sehingga tidak hanya Imigrasi yang dapat mengakses data-data tersebut. Dengan data yang selalu up to date, masing-masing institusi dapat lebih cepat dan mudah menjalankan tugas dan kewajibannya untuk mencegah dan menindak orang asing yang bekerja secara ilegal.

Kenapa BIN penting dimasukkan dalam urusan orang asing ini? Beberapa tahun lalu, pada saat menjabat Pangkostrad, Ryamizad Ryakudu melontarkan sinyalemen adanya ribuan agen intelejen asing yang berkeliaran di Indonesia.

Jadi, disamping untuk antisipasi pelanggaran ketenagakerjaan, juga penting diantisipasi kunjungan orang asing yang "nyambi" sebagai agen intelejen.

Sistem informasi dan data orang asing juga harus dapat diakses publik. Akses publik ini berguna agar publik memperoleh informasi yang kredibel atas jumlah orang asing, baik yang bekerja, berwisata, menjalani pendidikan dan tujuan-tujuan lainnya. Dengan demikian, tidak akan mudah publik diprovokasi dengan isu TKA ilegal oleh pihak tak bertanggungjawab dengan angka fantastik-manipulatif.

Kedua, para petugas imigrasi belum melakukan langkah penggalian informasi (soft-interogasi-investigatif) kepada orang asing yang masuk guna mencegah pelanggaran yang dimungkinkan terjadi, baik bekerja secara ilegal maupun menjadi agen intelejen asing.

Para petugas imigrasi harus memerankan diri sebagai garda depan mencegah negara ini dari berbagai praktek penyalahgunaan ijin keimigrasian oleh orang asing.

Tidak boleh lagi petugas-petugas imigrasi berlindung pada diktum konvensi internasional bahwa siapapun yang memegang dokumen paspor dan masih berlaku, bebas melintas antar negara. Mereka harus selektif dan terukur memberikan visa (dan visa on arivel), melakukan pemeriksaan ketat kepada para pendatang di bandara dan pintu masuk imigrasi lainnya.

Ketiga, jumlah pengawas ketenagakerjaan (wasnaker) yang dimiliki Kemnaker belum memenuhi kebutuhan proporsional dibandingkan jumlah perusahaan di berbagai sektor industri yang harus diawasi.

Pada saat ini, satu orang wasnaker harus mengawasi ratusan perusahaan. Sangat tidak rasional. Karenanya, wasnaker perlu segera ditambah orangnya. Jika idealnya butuh tambahan 5000 orang wasnaker, sebaiknya segera penuhi. Jika keuangan negara tidak memungkinkan penambahan 5000 orang wasnaker, Kemnaker perlu bekerjasama dengan LSM, lembaga donor internasional dan stakeholder lain yang peduli pada permasalahan buruh dan migrasi berkeadilan. Pengawasan dan penindakan terhadap TKA ilegal oleh Kemnaker tidak boleh lemah (lagi) akibat kekurangan tenaga wasnaker.

Masih kaitannya dengan posisi Kemnaker, pemberian ijin kerja bagi TKA yang selama ini sangat ketat, harus tetap dipertahankan. Tidak boleh sedikitpun diperlonggar. Hanya TKA yang memenuhi syarat yang boleh memperoleh ijin.

Keempat, masih lemahnya kompetensi angkatan kerja nasional. Angkatan kerja nasional tahun 2016 ini jumlahnya mencapai 128 juta orang. Dari sisi profil pendidikannya, sekitar 49% (62,7 juta orang) lulus dan tidak lulus SD, 18% (23 juta orang) lulus dan tidak lulus SLTP. Tergambar dari data ini betapa sulitnya mereka bersaing dengan pekerja negara lain di pasar kerja dunia.

Pemerintah dan semua pihak perlu bertindak nyata untuk menggenjot peningkatan kompetensi angkatan kerja. Keinginan Presiden Jokowi dan Menaker MHD untuk meningkatkan akses dan mutu pelatihan kerja harus segera diwujudkan. Para pemegang otoritas politik anggaran, harus mulai memprioritaskan alokasi APBN dan APBD guna membiayai pelatihan kerja agar dapat berjalan secara fokus dan massif.

Agar tidak sekedar omong kosong, Jokowi dan MHD harus segera memberi bukti kepada publik realisasi dari kebijakan perluasan akses dan mutu pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi angkatan kerja nasional. Termasuk dengan menggandeng swasta, nasional maupun asing.

Di era serba terbuka seperti sekarang ini, tidak mungkin satu negara bisa menutup diri dari persaingan dalam hal angkatan kerja. Karena itu, bangsa yang memiliki angkatan kerja yang kuat yang akan memenangkan pertempuran global.

Kelima, adanya regulasi yang membolehkan TKA bekerja pada jabatan pekerjaan yang skillfull dan strategis. Sebagai produk kebijakan, ini masalah sangat serius, perlu segera diperbaiki. Regulasi tentang pengendalian TKA seharusnya mencerminkan semangat perlindungan kepada TKI.

Kekayaan alam yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia, haruslah dinikmati secara maksimum oleh anak-anak negeri ini. Karena itu, ke depan  aturan TKA perlu diubah dengan melarang TKA bekerja pada jabatan pekerjaan skilfull dan strategis. Seharusnya TKA yang bekerja di Indonesia hanya boleh menjadi pekerja kasar, semisal kuli bangunan, pembantu rumah tangga, ofice boy, dan sebagainya.

Seluruh jenis jabatan pekerjaan skilfull dan strategis yang mendatangkan gaji dan pendapatan besar, semisal, komisaris utama, presiden direktur, manajer hingga supervisor hanya boleh diduduki oleh putra-putri terbaik Indonesia, bukan TKA. Seperti itulah substansi aturan TKA yang seharusnya ada, bukan sebaliknya.

Karena itu, pada saatnya nanti tidak boleh (lagi) ada aturan yang melanggengkan anak-anak bangsa ini hanya menjadi kuli di negerinya sendiri. Orang asinglah yang harus bekerja kasar dan menjadi kuli di negara ini.

Kembali pada masalah TKA ilegal yang mencuat sekarang ini, memang  harus ada tindakan-tindakan nyata seperti yang selama ini telah dilakukan Kemnaker, imigrasi, polisi dan pemerintah daerah. Masalah TKA tidak cukup hanya dijadikan bahan kegaduhan ruang publik yang bertendensi politik balas dendam semata. (*)

Selamat bekerja Pak Jokowi!

#StopPolitisasiTKA!

Indonesia, 6 Agustus 2016

Damar Amira Nusantara,
Orang biasa, tinggal di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun