Mohon tunggu...
Danura Lubis
Danura Lubis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Isi Hati dan Pikiran

Ketika Kau Ingin Sesuatu, Maka Inginkanlah Prosesnya! Bukan Jadinya!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pentingnya Sebuah Kapasitas Dalam Pidato Ahok

30 Oktober 2016   12:52 Diperbarui: 30 Oktober 2016   13:12 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dugaan penistaan al-Qur'an"][/caption]Ini bukan soal membela atau tidak membela. Memihak atau tidak memihak. Marah atau tidak marah. Apalagi soal Pilkada DKI 2017. Sama sekali tak ada keuntungan yang akan diperoleh dari apa yang diuraikan dalam tulisan ini.

Ini hanyalah soal keutuhan bangsa semata. Melihat apa yang terjadi semakin hari semakin memanas dan berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa, penulis tertarik menganalisis sedikit tentang apa yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta ketika berpidato di hadapan masyarakat Pulau Seribu yang saat ini sedang hangat dianggap sebagai bentuk penistaan terhadap al-Qur'an.

"Jadi nggak usah pikiran, 'ah... nanti kalo nggak kepilih pasti Ahok programnya bubar', nggak! Saya (Ahok) masih terpilih sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak pilih saya (Ahok), ya kan! Dibohongin pake surat Al Maidah ayat 51, macem-macem itu, itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu nggak bisa milih nih, karena saya (bapak ibu) takut masuk neraka', nggak apa-apa".

Itulah sedikit kutipan apa yang disampaikan Ahok ketika itu yang menimbulkan kehebohan disana sini. Mari kita bahas bersama-sama.

 

Yang pertama, dari segi tata bahasa, kata 'dibohongi' adalah bentuk kata kerja pasif dari kata kerja aktif 'membohongi', sedangkan 'pakai' adalah bentuk kata kerja yang setelah kata tersebut adalah kata benda. Contoh, dalam kata kerja aktif; 'Andi membohongi Sinta pakai surat', sedangkan dalam kata kerja pasif menjadi; 'Sinta dibohongi Andi pakai surat'.


Pertanyaan disini adalah, apakah memang si Andi yang melakukan kebohongan terhadap Sinta atau surat itulah yang berbohong? Surat sudah pasti tidak bisa berbohong jikalau si penulisnya tidak menghendaki demikian. Tetapi bagaimana jika surat itu digunakan oleh pihak lain untuk membohongi Sinta?


Mungkin boleh saya beri gambaran seolah-olah disini ada dua pihak. Pihak pertama mengatakan kepada Sinta bahwa ia dibohongi oleh sebuah surat. Sedang pihak kedua mengatakan kepada Sinta bahwa ia dibohongi oleh Andi dengan menggunakan sebuah surat.


Sampai disini mungkin Anda bingung dan terkesan bahwa keduanya sama saja dan tiada bedanya. Ya! Memang benar keduanya sama saja akan tetapi lain halnya jika surat tersebut bukan ditulis oleh Andi sendiri melainkan oleh orang lain dan Andi dalam hal ini hanyalah sebagai orang yang memanfaatkan surat tersebut dengan tujuan tertentu kepada Sinta. Terlebih jika setiap orang yang telah membaca surat tersebut mempunyai penafsiran masing-masing terhadap kandungan surat tersebut.

 

Kedua, dalam al-Maidah ayat 51, kurang lebih bermakna bahwa orang beriman (Muslim) dilarang untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai 'awliya'. Nah, disinilah letak awal masalahnya timbul. Apakah yang dimaksud dengan kata 'awliya' ini?

Pakar tafsir Indonesia, Prof Quraisy Shihab pernah menyampaikan, bahwa 'awliya' adalah bentuk jamak (plural) dari kata 'wali'. Dalam bahasa Arab, 'wali' pada dasarnya bermakna dekat. Coba kita artikan masing masing dari kata 'wali' dibawah ini:
Wali Allah, wali nikah, walikota, wali murid. Apakah semua kata 'wali' disini bisa diartikan dengan satu makna saja?

Tentu tergantung dari kata sesudahnya dan dari segi konteks kalimatnya pula. Sehingga makna dari masing masing kata tersebut menjadi:
Wali Allah: hamba yang punya hubungan dekat dengan Allah, wali nikah: orang yang mempunyai hak untuk menikahkan seorang wanita dengan seorang pria, walikota: orang yang dekat dengan warga kotanya dan bertanggung jawab atas kota tersebut, wali murid: orang yang diberi tanggung jawab sebagai pengganti orang tua mengurusi para murid selama di sekolah.

Oleh karena itu, tidak heran bila Prof Quraisy Shihab lebih senang mengartikan kata 'awliya' dalam al-Maidah ayat 51 sebagai terjemahan aslinya saja yakni tetap 'awliya'.
Bagaimana jika ada yang mengartikan kata 'wali' sebagai pemimpin? Tentu tidak salah pula dan memang bisa saja diartikan demikian. Seperti 'walikota' diartikan sebagai pemimpin sebuah kota.

 

Ketiga, dalam menafsirkan ayat al-Qur'an tentu tak bisa dipisahkan dengan asbabunnuzul (background) atau latar belakang mengapa ayat tersebut diturunkan. Mengetahui asbabunnuzul sebuah ayat sangat penting dalam ilmu tafsir. Hal ini agar penafsiran ayat tersebut tidak mengalami kesalahan.
Mari kita bahas latar belakang mengapa ayat 51 ini turun kepada umat muslim kala itu.

Konteks ayat tersebut ialah dalam situasi peperangan. (Penjelasan mengenai asbabunnuzul ini penulis kutip dari situs www.fiqhmenjawab.net)
Dalam Tafsir Al-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, para ulama tafsir berbeda pendapat tentang asbabun nuzul QS 5;51. Satu riwayat menuturkan, turunnya ayat tersebut berkaitan dengan Perang Uhud. Dalam situasi kekalahan, ada prajurit muslim yang bermaksud meminta perlindungan kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Lalu turunlah larangan menjadikan Nasrani dan Yahudi sebagai awliya.

Menurut riwayat lain, ayat tersebut turun saat Perang Khandaq, ketika Nabi dan kaum muslim dikepung kaum kafir Quraisy. Sahabat Nabi bernama Ubadah bin Shamit yang punya kedekatan dengan kaum Yahudi menawarkan bantuan tentara dari sekutunya kepada Nabi. Abdullah bin Ubay bin Salul juga menawarkan hal yang sama. Maka turunlah teguran dari Tuhan untuk tidak beraliansi dengan Yahudi dan Nasrani. Dan kemudian terbukti kabilah Yahudi Bani Quraidzah bersekongkol dengan kafir Quraisy memerangi umat islam. Tetapi Abdullah bin Ubay tetap mempertahankan aliansinya dengan kaum Yahudi, sambil seakan-akan tetap setia pada Nabi. Loyalitas mendua seperti ditunjukkan Abdulah bin Ubay ini dikecam keras oleh Al-Quran sebagai munafiqun (QS: 142- 144).


Sementara, As-Saddi menye­butkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud, Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal. Sedangkan yang lainnya menyatakan, Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya. Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi awliya kalian(al-Maidah: 51).

 

Keempat, berkenaan dengan klarifikasi Ahok di hadapan wartawan saat ditanya tanggapannya soal dugaan penistaan tersebut dan kemudian disusul oleh permintaan maafnya kepada umat Muslim Indonesia karena telah menimbulkan reaksi keras di masyarakat. ia mengatakan, bahwa ia sama sekali tidak bermaksud melecehkan ayat Qur'an.


Yang dimaksud saat itu ialah orang orang yang memakai ayat tersebut untuk tujuan politik. Ahok mengaku bahwa ia pernah mendapat penjelasan soal ayat itu. Dimana dijelaskan bahwa yang dilarang dalam ayat itu adalah menjadikan non Muslim sebagai sahabat atau kawan karib, bukan sebagai pemimpin.

"Saya bilang ke warga Kepulauan Seribu, kalau kalian dibodohi orang-orang rasis pengecut, itu yang mau saya tekankan sekarang, menggunakan ayat suci untuk tidak memilih saya, ya silakan enggak usah milih," katanya.

Ahok mengatakan sejak terjun ke dunia politik tahun 2003 ia kerap menemui lawan politik menurut dia rasis dan pengecut karena menggunakan ayat-ayat Alquran untuk "membodohi" warga agar tidak memilih dia.

"Jadi ayat Alquran ada yang salah enggak? Enggak salah, konteksnya bukan itu. Konteksnya adalah jangan jadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai temanmu, sahabatmu. Saya sekolah Islam SD-SMP sembilan tahun, jadi saya menemukan banyak yang rasis dan pengecut menggunakan ayat suci di dalam Alquran maksudnya tidak seperti itu (tapi) dipelesetin seperti itu," katanya.

Perilaku rasis dan pengecut, menurut Ahok, tidak hanya kerap dilakukan oleh aktor politik beragama Islam tetapi juga yang beragama Kristen atau Katolik. (Sumber: ANTARA News/Ahok klarifikasi tuduhan penghinaan Alquran)

Nah, dari semua aspek yang telah penulis uraikan di atas, mulai dari segi bahasa, terjemahan dari kata 'awliya' dalam bahasa Arab, sebab turunnya ayat tersebut, dan klarifikasi Ahok soal dugaan penistaan tersebut, dapat disimpulkan disini, bahwa Ahok hendak menyinggung orang orang rasis yang menggunakan ayat suci sebagai senjata untuk menjatuhkannya.


Gubernur DKI tersebut mengatakan hal itu ketika berpidato di hadapan masyarakat dengan pendapat yang ia yakini benar.
Dalam Islam, sah-sah saja bila seseorang memiliki pendapatnya masing-masing perihal penafsiran sebuah ayat, selama itu bukan hasil pemikirannya semata serta mempunyai dalil dan ilmunya.


Namun, jika seseorang tidak memilki kapasitas dalam hal penafsiran ayat, orang tersebut dapat mengikuti (taqlid) pendapat orang yang memiliki kapasitas itu, dalam hal ini sudah tentu adalah para ahli tafsir.


Kita tidak boleh memaksakan pendapat yang kita yakini benar kepada orang lain. Sama halnya pula dengan orang lain yang tidak boleh memaksakan pendapat yang orang itu yakini benar kepada kita.

 

Namun demikian, titik tekan yang ingin penulis sampaikan disini adalah satu hal saja dari yang dianggap sebagai tindakan yang kurang elegan kepada saudara kita Basuki Thaja Purnama saat ia berkata hal demikian, maka dengan kapasitas apa ia bisa berbicara seperti itu?
Ahok adalah seorang Gubernur. Dia bukan seorang ahli tafsir atau ulama. Bahkan ia pun bukan seorang muslim.

Tidak masalah baginya jika dia punya pendapat seperti itu perihal maksud dari kata 'awliya' sebagai 'kawan karib' dalam al-Maidah 51 tersebut, dan memang tak sedikit pula orang muslim yang berpendapat demikian. Akan tetapi, cukuplah itu menjadi konsumsi pribadinya. Tidak perlu sampai mengatakan 'dibohongi'. Karena bebas dan sah-sah saja bila ada yang berpendapat bahwa 'awliya' disitu adalah sebagai pemimpin.

Sekali lagi, penulis dengan tulus mengajak kepada semua masyarakat terutama umat Muslim Indonesia untuk melihat persoalan ini dengan lebih jernih dan mengedepankan sikap toleransi dan persatuan bangsa.


Jika memang saudara kita Ahok sebetulnya sama sekali tidak bermaksud melakukan pelecehan ayat, apalagi ia dengan berani telah meminta maaf kepada semua umat Muslim. Maka alangkah baiknya, apabila kita memaafkannya dan menganggap bahwa ia hanya keliru dalam hal menempatkan posisinya ketika itu. Karena saat itu, seorang Ahok berada dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DKI dan bukan kapasitasnya sebagai seorang ahli tafsir atau Muslim sekalipun.

Namun demikian, Indonesia adalah negara demokrasi. Jika memang saudara-saudara kita masih ada yang merasa hal itu belumlah cukup, maka silahkan saja melakukan unjuk rasa demi menyampaikan aspirasinya. Yang terpenting semua itu dilakukan dengan penuh kedamaian serta tertib.

Hindari hal-hal yang dapat merusak citra kita sebagai umat yang beragama Islam. Karena Islam sudah Rasul SAW perkenalkan kepada seluruh alam sebagi agama yang 'Rahmatan lil A'laamiin' yakni agama yang membawa kasih sayang kepada seluruh alam.

Yang terakhir, penulis sangat berharap, dengan segala kemajemukan yang ada di Indonesia baik dari suku, ras, etnis, dan agama, semoga persatuan bangsa Indonesia tetap terjaga.

Jangan sampai perpecahan dan konflik yang sedang terjadi pada saudara-saudara kita di negeri mereka, terjadi pula pada negeri kita tercinta.

 

 

Jakarta,

(Warga biasa yang khawatir terhadap keutuhan Bangsanya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun