Mohon tunggu...
Danthy Margareth
Danthy Margareth Mohon Tunggu... Lainnya - Biasa-Biasa Saja

Dunia dalam Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Langkah Perusahaan di Era Digital dan Belajar dari Taksi Konvensional

6 September 2020   15:22 Diperbarui: 6 September 2020   17:18 1920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika teknologi menunjukkan kekuatannya dengan mentransformasikan peradaban manusia ke era digital dan mengubah gaya hidup manusia, di saat itu pula dunia bisnis tunggang langgang. 

Ibarat naik roller coaster, situasi dunia bisnis membuat jantung berdegup kencang karena bergerak cepat naik turun di atas rel yang bergejolak (Volatility), penuh ketidakpastian (Uncertainty), rumit (Complex), dan tidak jelas (Ambiguity). Gambaran situasi ini di dunia bisnis dikenal sebagai lingkungan VUCA.  

Bahkan ada yang mengatakan situasi sekarang sudah melebihi VUCA sejak kedatangan Covid-19 yang memporak-porandakan segala aspek kehidupan. Roda perekonomian bagaikan mati suri dan beberapa negara bahkan terjun ke jurang resesi. 

Pandemi Covid-19 juga telah menciptakan pengangguran massal. Tak heran jika ada yang menyematkan Covid-19 pada istilah VUCA menjadi VUCAC-19 atau menyebut keadaan runyam ini sebagai Beyond VUCA.

Para pemilik usaha tentunya berlomba-lomba menyelamatkan diri dan mengambil langkah antisipatif agar bisnisnya tetap bernyawa. Berbagai strategi disusun agar matahari kembali bersinar terang di langit perusahaan yang telah memasuki senjakala. 

Tentunya inisiatif pemimpin perusahaan dalam bergerak mencari jalan keluar adalah hal yang tepat, karena berdiam diri atau mempertahankan status quo justru merupakan musuh terbesar di situasi yang serba tidak pasti. 

Namun yang menjadi pertanyaan apakah keputusan yang diambil telah tepat? Bagaimana jika justru menjadi boomerang bagi perusahaan?

Tempo hari kita dikejutkan dengan langkah dua stasiun televisi swasta, RCTI dan iNews, yang menggugat materi UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya meminta setiap siaran yang menggunakan internet harus tunduk kepada UU Penyiaran. 

Dalam podcast Deddy Corbuzier yang ditayangkan di YouTube pada hari Sabtu (31/08) lalu, perwakilan dari pihak televisi menyebutkan bahwa upaya yang mereka tempuh merupakan sebuah bentuk aksi korporasi dan tidak ada tendensi untuk mempersulit content creator dalam berkarya di media sosial.

Terlepas dari isi materi gugatan dan atas nama apapun yang menjadi alasan kedua stasiun televisi tersebut menggugat, serta bagaimana mereka berusaha mengklarifikasinya melalui berbagai jenis media, publik sudah memberikan justifikasinya sendiri. 

Langkah RCTI dan iNews dinilai sebagai bentuk kekalahan bersaing di pasar melawan platform media digital yang lebih dicintai publik seperti YouTube, Netflix, dan sebagainya. 

Berbagai komentar bernada kecaman dan kekecewaan pun ditujukan kepada RCTI dan iNews. Bahkan tak sedikit menyerukan untuk memboikot kedua stasiun televisi tersebut.

Bercermin pada kasus taksi konvensional

Apa yang terjadi pada RCTI dan iNews  mengingatkan kita pada kejadian beberapa tahun silam saat perusahaan taksi konvensional bereaksi atas kemunculan transportasi online yang menjamur dan meramaikan pasar transportasi umum.

Kehadiran transportasi online ini meruntuhkan stigma taksi konvensional yang identik dengan argo mahal sehingga tidak dapat diakses oleh konsumen menengah ke bawah. 

Transportasi online juga memiliki kelebihan teknologi sehingga jaringan lebih luas dan bisa diakses di manapun karena diatur oleh sistem yang menghubungkan konsumen secara langsung dengan pengemudi terdekat di area sekitar konsumen berada. 

Segala terobosan yang diberikan oleh transportasi online dengan cepat menggerogoti pangsa pasar perusahaan taksi konvensional dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan bisnis mereka. Penumpang menurun, kinerja perusahaan merosot, dan saham pun ikutan anjlok.  

Perusahaan taksi konvensional meradang. Mereka menyorot kehadiran transportasi online yang dinilai belum jelas legalitasnya dan tidak mengikuti regulasi yang berlaku. 

Transportasi online dinilai tidak membayar pajak sehingga bisa memasang tarif murah. Mereka menuntut kesamaan regulasi diberlakukan kepada transportasi online dengan dalih kompetisi harus berjalan sehat.

Reaksi ini berbuntut panjang. Para pengemudi taksi konvensional berdemo dan menuntut agar transportasi online tidak diizinkan beroperasi. Bahkan dalam melakukan aksi protesnya, para pengemudi taksi melakukan sweeping terhadap kendaraan-kendaraan yang diduga sebagai transportasi online dan melarang mereka mengangkut penumpang. Para pelanggan transportasi online sampai dibuat ketakutan.

Namun apa yang terjadi kemudian? Reaksi tersebut menjadi backfire atau senjata makan tuan bagi reputasi perusahaan. Konsumen sudah keburu jatuh cinta dengan transportasi online yang dinilai memberikan alternatif lebih menguntungkan. 

Konsumen diibaratkan dipaksa putus cinta dan harus menjalani hubungan backstreet agar tidak kena sweeping. 

Hal ini menyebabkan kemarahan publik. Mereka mengecam sikap perusahaan taksi konvensional yang dinilai sebagai bentuk kekalahan bersaing di pasar. Publik juga menuding pihak manajemen perusahaan yang berada di belakang layar pemogokan dan aksi protes para pengemudi taksi.

Untungnya manajemen perusahaan taksi konvensional peka dan segera sadar sebelum keadaan semakin runyam. Alih-alih bermusuhan dengan transportasi online, pihak perusahaan taksi konvensional memutuskan bersinergi. 

Gejolak dan ketegangan antara taksi konvensional dan transportasi online pun berakhir dengan ikatan partnership di antara keduanya.

Belajar dari kisah Blue Bird

Salah satu pelajaran berharga mengenai sepak terjang perusahaan menghadapi era digital adalah Blue Bird. Jika kita berbicara mengenai Blue Bird, sedikit mundur ke tahun 1972, Blue Bird dikenal sebagai perusahaan taksi yang melakukan disrupsi di industri transportasi umum. 

Di kala itu, taksi-taksi yang beroperasi di Indonesia belum memakai argo, namun Blue Bird sudah memulainya. Blue Bird juga menjadi pelopor armada taksi pertama yang meluncurkan Taxi Mobile Reservation.

Seiring berjalannya waktu, Blue Bird dengan segala kelebihannya menjadi pemimpin pasar transportasi Indonesia. Namun sayangnya di saat teknologi berkembang dan melahirkan inovasi-inovasi dari rahim perusahaan rintisan berbasiskan digital, Blue Bird tetap berada di zona nyaman dengan balutan old school. 

Perusahaan terlena, namun sebenarnya dalam kondisi seperti seekor katak yang tidak sadar sedang direbus secara perlahan-lahan di dalam panci dan menuju kematian.    

Dalam video Blue Bird Berbenah untuk Berubah, yang ditayangkan di akun resmi YouTube Blue Bird Group pada tahun 2016, perusahaan bahkan berterus terang mengakui,

"Kami sadar betul ada masanya kami seperti tuli dan buta akan zaman yang terus berubah -- bahwa kami lamban dan pelan melihat keluar jendela dunia yang bergerak begitu cepat."

Video berdurasi dua menit tersebut dibuat pasca terjadinya kericuhan antara pengemudi taksinya dengan transportasi online, sebagai bentuk sebuah kesadaran dari perusahaan untuk bangun meninggalkan zona nyaman dan melakukan perubahan. Lebih lanjut dalam video tersebut, Blue Bird mengungkapkan,

"Kami sedang belajar mendengar dan belajar untuk berubah. Kami masih kawan sama yang selama ini kamu andalkan, ketika kamu butuh rasa aman dan lekas tiba di tujuan. Tapi kami sadar sekarang bahwa seorang kawan bukan hanya berpegang pada kenangan-kenangan yang pernah ada, namun seorang kawan juga harus berjalan bersama melaju di tengah hiruk pikuk dunia. Beri kami kesempatan, kami ingin bersama-sama ikut pertandingan. Kami sedang berbenah karena kami mau berubah."

Terlepas dari pro-kontra berbagai pihak terkait narasi dalam video tersebut, sikap gentle Blue Bird patut diapresiasi. Dibutuhkan keberanian, kebesaran hati, dan kerendahan hati untuk mengakui kekurangan di depan publik dan berusaha untuk memperbaikinya. 

Ini adalah langkah yang tepat untuk memperbaiki brand image Blue Bird yang awalnya dikenal sebagai Bird of Happiness namun sempat terjerembab menjadi angry bird dikarenakan bersitegang dengan transportasi online.

Tentunya hal ini berdampak positif pada reputasi perusahaan, ditambah lagi Blue Bird juga mengambil langkah-langkah strategis lainnya.

Armada taksi biru ini secara resmi menjadi mitra Gojek dan muncul sebagai salah satu layanan (Go Blue Bird) di aplikasi Gojek. Bahkan di bulan Februari 2020, saham Blue Bird dibeli oleh Gojek dengan porsi kepemilikan sebesar 4.3%. 

Akurnya perusahaan berlogo burung biru tersebut dengan Gojek diharapkan dapat menjadi sentimen positif bagi emiten berkode saham BIRD tersebut.

Selain berkolaborasi dan bersinergi dengan transportasi online, Blue Bird berbenah diri di dalam internal perusahaan dengan mengevaluasi SDM. Blue Bird juga merumuskan ulang kebutuhan pelanggan dan berinovasi untuk menyesuaikannya. 

Misalkan mengembangkan sistem pembayaran non tunai (cashless). Kemudian Blue Bird memberikan terobosan dengan meluncurkan Blue Bird e-Taxi, yaitu taksi listrik pertama di Indonesia. 

Dan pada masa pandemi, Blue Bird menghadirkan fitur Chat Order Delivery (COD), yaitu layanan pengantaran barang dan makanan. Blue Bird juga gencar menggenjot pendapatan dari bisnis non taksi. Perlahan-lahan sang Burung Biru pun kembali terbang ke angkasa bersama cinta dari para pelanggannya.

Langkah perusahaan adalah penentu keberlangsungan

Kisah taksi konvensional telah memberikan pelajaran berharga. Belajar dari kasus mereka, langkah perusahaan memegang kunci penting dalam upaya menyelamatkan perusahaan saat posisi telah berada di ambang batas survival, alias hampir "tamat". 

Setiap keputusan manajemen perusahaan akan menentukan bagaimana nasib perusahaan ke depan, sehingga harus dipertimbangkan masak-masak dan menghindari sikap reaktif. Namun lagi-lagi, dibutuhkan pemimpin yang open minded dan agile untuk menghadapi permasalahan seperti ini.

Pemimpin yang agile akan keluar dari zona nyaman dan melakukan perubahan. Jika pemimpin tidak agile, ia akan menolak transformasi dan bersikeras mempertahankan cara lamanya. 

Biasanya pemimpin seperti ini terlalu lama terjebak dalam halusinasi kejayaan perusahaan di masa lalu yang tidak berpijak pada realitas. Dampaknya pun fatal. 

Saat kompetitor baru datang dan merebut kue perusahaan di pasar, perusahaan akan ngambek seperti anak kecil yang memaksa agar kuenya dikembalikan. Reaksi seperti ini akan menjadi death penalty bagi perusahaan. 

Apalagi jika reaksi tersebut bertentangan dengan publik. Jika tak segera berbalik arah, tinggal menunggu waktu bagi perusahaan untuk terjun bebas di jurang kehancuran. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun