“Belum …”
Angin berhenti bersuara. Dia telah paham bahwa aku sedang tak ingin bicara banyak, namun dia tak paham apa yang sedang aku butuhkan.
Hingga panas cukup untuk memerahkan kulit, tak ada kata lain lagi yang terucap dariku dan darinya.
Ternyata waktu memang belum memberikan kisah terindah untukku. Aku menangis dalam diamku, sedangkan Angin merasa bahwa dia tidak pernah bersalah dengan ketenangannya. Padahal aku ingin Angin memelukku dan meredakan gerah di hatiku.
Sudah cukup lama aku duduk bersamanya, seharusnya Angin berhembus ke tempatku sekarang duduk seperti angin laut membantu nelayan pulang setelah menangkap ikan. Aku ingin sekali mendengar Angin berbisik kepadaku, “Aku cinta kamu”, sebelum aku meninggalkan kota ini.
Namun aku tak pernah mendapatkannya.
Dan Argo Jati pun berlalu.
Angin datang dari sedikit celah yang terbuka di atas jendela kaca. Dia bersuara kepadaku. Sayangnya, bukan angin itu yang aku nanti.
@@@
Aku membereskan perkakas lalu menyimpan bumbu kacang kiriman Emak dari Cirebon. Aku ingin cepat bergegas menuju laut utara. Jika aku datang setelah lebaran, pasti bisa mengikuti kemeriahan di desa ini.
Sampai siang ini Angin sudah sepuluh kali berusaha meneleponku. Kalau tidak aku angkat, dia bisa saja meneleponku sampai tiga puluh kali, sepuluh di pagi hari, sepuluh lagi di siang hari dan sepuluh lagi di malam hari.