Mohon tunggu...
Danang Saparudin
Danang Saparudin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

mencoba terus untuk menulis. tulisan-tulisan yang lain bisa dilihat di www.dansapar.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

30 Panggilan Tak Terjawab

15 Desember 2009   07:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:56 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di depanku ada secangkir teh hangat dan sepiring nasi lengko siap santap. Cangkir keramik itu terlihat tak penuh lagi. Namun nasi putih yang disajikan dengan tempe goreng, tahu goreng, kerupuk, tauge, timun, daun bawang kucai serta siraman adonan bumbu kacang itu belum tersentuh. Aku memang tak begitu suka dengan nasi yang masih panas.

Suara presenter gosip terdengar dari televisi di ujung ruangan. Pagi yang cerah terlihat menyapa dari jendela di samping bak cuci piring yang berantakan. Aku duduk salah satu kursi kayu di depan meja makan segi empat yang tak begitu besar.

Layar laptopku masih menampilkan gambar lingkaran berputar. Aku selalu tergoda untuk melihat dunia luar dari internet karena televisi terlalu banyak menampilan berita kurang penting dari para sekuter. Selebritis kurang terkenal.

“Sedang berada di utara dan menikmati pagi yang cerah”

Yaha! Aku ternyata tak berbeda dengan para sekuter itu. Gak penting! Aku baru saja menuliskan rangkaian kata di salah satu situs jejaring sosial. Haha.

Ketika aku menghabiskan nasi lengko itu, sebuah pesan singkat datang dengan sambutan intro lagu dari Keane, everybody’s changing.

“Kamu ada di mana?”

Aku yakin pesan itu terkirim karena sang pengirim baru saja membaca status tak penting yang tadi aku tulis sembari menunggu nasi lengko ku dingin.

Seperti nasi lengko itu, hatiku pun telah dingin. Aku tak terlalu peduli dengan setiap sms yang menghampiri.

“Aku memang berada di utara dan baru saja menikmati nasi lengko buatanku sendiri, namun bukan berarti aku sedang berada di Cirebon, tempat di mana aku paling sering menatap laut utara bersamamu!”.

Aku biarkan pesan itu hanya berbalas dengan kata bathinku saja.

@@@

“Mau ke mana?”

Tiba-tiba saja Emak berdiri di belakangku. Meskipun sudah cukup lanjut, namun pendengaran Emak tidak terganggu. Aku yang dari tadi berisik dan sibuk mengeluarkan sepeda unik hasil modifikasi dari dua rangka sepeda federal milikku dan sepeda bmx milik Angin ternyata telah mengusik kebiasaan Emak dalam menikmati teh hangat dan lantunan musik campur sari dari dvd yang wajib disetel untuk memulai hari.

Sambil sibuk mengeluarkan sepeda bersadel tinggi itu, aku berpamitan kepada nenek tersayang yang biasa aku panggil Emak, “Biasa, Mak! Mau ke Pelabuhan!”.

Dengan bantuan pagar rumah, aku menaiki sepeda bersadel tinggi lalu memegang kemudi yang panjangnya abnormal itu. Sistem penggerak dari sepeda mulai berjalan pelan ketika aku mengayuh pedalnya. Rantai panjang yang menghubungkan dua gir yang telah dimodifikasi untuk mendukung sepeda unik mengantarkanku menyusuri jalanan kampung hingga tembus di jalan besar yang telah ramai oleh pengemudi becak yang sedang menunggu penumpang.

Setelah beradu dengan banyaknya becak, sepeda motor serta angkot, aku pun memasuki kawasan Pelabuhan Cirebon.

Siang belum sepenuhnya menguasai hari, awan putih membentuk gugusan awan berbentuk khas yang berpadu dengan cerahnya langit biru, sedangkan di balik punggungku berdiri Gunung Ceremai yang sedari tadi seakan memata-mataiku.

“Bengong aja!”. Seseorang menepuk punggungku dari belakang.

“Duduk”, ucapku tanpa menengok sambil sedikit menggeser dudukku di salah satu sisi haluan kapal yang tertambat di Pelabuhan.. Aku sudah hafal suara Angin.

“Kamu belum berangkat ke Jakarta?”

Pertanyaan yang telah aku tebak sebelumnya akan dibawa Angin kepadaku setelah aku dinyatakan diterima di salah satu kampus terbaik di negeri ini.

“Belum …”

Angin berhenti bersuara. Dia telah paham bahwa aku sedang tak ingin bicara banyak, namun dia tak paham apa yang sedang aku butuhkan.

Hingga panas cukup untuk memerahkan kulit, tak ada kata lain lagi yang terucap dariku dan darinya.

Ternyata waktu memang belum memberikan kisah terindah untukku. Aku menangis dalam diamku, sedangkan Angin merasa bahwa dia tidak pernah bersalah dengan ketenangannya. Padahal aku ingin Angin memelukku dan meredakan gerah di hatiku.

Sudah cukup lama aku duduk bersamanya, seharusnya Angin berhembus ke tempatku sekarang duduk seperti angin laut membantu nelayan pulang setelah menangkap ikan. Aku ingin sekali mendengar Angin berbisik kepadaku, “Aku cinta kamu”, sebelum aku meninggalkan kota ini.

Namun aku tak pernah mendapatkannya.

Dan Argo Jati pun berlalu.

Angin datang dari sedikit celah yang terbuka di atas jendela kaca. Dia bersuara kepadaku. Sayangnya, bukan angin itu yang aku nanti.

@@@

Aku membereskan perkakas lalu menyimpan bumbu kacang kiriman Emak dari Cirebon. Aku ingin cepat bergegas menuju laut utara. Jika aku datang setelah lebaran, pasti bisa mengikuti kemeriahan di desa ini.

Sampai siang ini Angin sudah sepuluh kali berusaha meneleponku. Kalau tidak aku angkat, dia bisa saja meneleponku sampai tiga puluh kali, sepuluh di pagi hari, sepuluh lagi di siang hari dan sepuluh lagi di malam hari.

Aku tahu dia ingin menelponku. Aku juga ingin mendengar suaranya. Tapi seperti merk pakaian kaum hawa, GENGSI, aku tetap tak ingin menjawab telepon dari nya sebelum tiga puluh missed calls terlihat di layar handphone-ku. Itulah kebiasaanku setelah aku pergi tanpa ada kejelasan dari Angin. Absurd memang!

Namun saat ini aku sedikit menurunkan kadar gengsiku. Sebuah pesan terkirim untuk Angin.

“Berbisiklah angin kepada Marsekal Guntur. Ikutilah dia hingga berjumpa dengan Pramoedya Ananta Toer. Temui aku di tempat 25 perempuan cantik membawa kepala kambing ”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun