@@@
“Mau ke mana?”
Tiba-tiba saja Emak berdiri di belakangku. Meskipun sudah cukup lanjut, namun pendengaran Emak tidak terganggu. Aku yang dari tadi berisik dan sibuk mengeluarkan sepeda unik hasil modifikasi dari dua rangka sepeda federal milikku dan sepeda bmx milik Angin ternyata telah mengusik kebiasaan Emak dalam menikmati teh hangat dan lantunan musik campur sari dari dvd yang wajib disetel untuk memulai hari.
Sambil sibuk mengeluarkan sepeda bersadel tinggi itu, aku berpamitan kepada nenek tersayang yang biasa aku panggil Emak, “Biasa, Mak! Mau ke Pelabuhan!”.
Dengan bantuan pagar rumah, aku menaiki sepeda bersadel tinggi lalu memegang kemudi yang panjangnya abnormal itu. Sistem penggerak dari sepeda mulai berjalan pelan ketika aku mengayuh pedalnya. Rantai panjang yang menghubungkan dua gir yang telah dimodifikasi untuk mendukung sepeda unik mengantarkanku menyusuri jalanan kampung hingga tembus di jalan besar yang telah ramai oleh pengemudi becak yang sedang menunggu penumpang.
Setelah beradu dengan banyaknya becak, sepeda motor serta angkot, aku pun memasuki kawasan Pelabuhan Cirebon.
Siang belum sepenuhnya menguasai hari, awan putih membentuk gugusan awan berbentuk khas yang berpadu dengan cerahnya langit biru, sedangkan di balik punggungku berdiri Gunung Ceremai yang sedari tadi seakan memata-mataiku.
“Bengong aja!”. Seseorang menepuk punggungku dari belakang.
“Duduk”, ucapku tanpa menengok sambil sedikit menggeser dudukku di salah satu sisi haluan kapal yang tertambat di Pelabuhan.. Aku sudah hafal suara Angin.
“Kamu belum berangkat ke Jakarta?”
Pertanyaan yang telah aku tebak sebelumnya akan dibawa Angin kepadaku setelah aku dinyatakan diterima di salah satu kampus terbaik di negeri ini.