_
PrologÂ
Penulis sudah beberapa kali berkunjung ke daerah desa, dan menjumpai berbagai masalah dalam kehidupan mereka. Tulisan ini akan fokus terkait, masalah konflik masyarakat desa dengan perusahaan di lingkungan desa. Tulisan ini di fokuskan kepada salah satu masalah yaitu kepemilikan tanah. Terlintas dalam benak penulis, kapan konflik masyarakat desa dengan perusahaan akan berhenti?
Mungkin hal tersebut tidak bisa terjawab dengan pasti, namun bisa memberikan gambaran untuk melihat kerugian yang di timbulkan. Penulis bertitik tolak pada rumusan postulat bahwa, setiap masalah pasti memiliki sebab dan akibat.
Beranjak dari postulat itu penulis, pernah bertanya atau mewawancarai masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan. Kesimpulan dari jawaban masyarakat adalah mereka tidak ingin merasakan kerugian dari sebuah perusahaan. Jawaban tersebut wajar adanya, karena tidak ada manusia yang ingin dirugikan dari kehadiran hal baru di daerah mereka.
Tulisan ini tidak akan membahas konsep kepemilikan tanah dengan sistem regulasi formal, karena sudah sangat banyak yang membahas tentang hukum agraria. Penulis dalam hal ini, tidak berpihak kepada siapa pun, hanya memaparkan konflik masyarakat dengan perusahaan, dan asal muasal kepemilikan tanah dari aspek Antropologi.
Defenisi Masyarakat adat
Masyarakat adat adalah merujuk kepada masyarakat yang tinggal dalam lingkungan tertentu dan memiliki sistem dan nilai tersendiri. Cornelis Van Vallenhoven menyebutkan masyarakat adat memproduksi dan menjalankan hukum adat dalam wilayah tertentu. Banyaknya daerah desa, membuat banyak juga masyarakat adat dengan beragam aturan berbeda dengan daerah lain.
Asal Muasal Kepemilikan Tanah
Untuk membahas konsep kepemilikan tanah, ada baiknya kita mengikuti perkembangan prilaku manusia dalam membentuk tatanan kehidupan. Salah satu aspek yang erat kaitanya dengan munculnya hak milik sebuah tanah, adalah dari aspek perkembangan mata Pencaharian Manusia.
Evolusi mata pencaharian adalah perkembangan sebuah prilaku manusia dalam bertahan hidup. Sitem bertahan hidup manusia tersebut, memiliki nilai dan fungsi dalam tatanan keberlangsungan hidup.
Berburu dan Meramu
Berburu dan meramu makanan, terjadi pada masa Paleolithikum (Zaman Batu Tua). Pada masa ini masyarakat memiliki kemampuan menciptakan peralatan untuk mendukung keberlangsungan hidup dari batu, kayu maupun tulang hewan.
Kehidupan dalam sistem berburu dan meramu bersifar nomaden. Kaum laki-laki pergi berburu, jauh kedalam hutan dan bahkan terkadang memakan waktu yang lama. Sedangkan kaum perempuan tinggal di rumah, mengumpulkan makanan dari tumbuhan dan hewan-hewan kecil.
Bercocok Tanam dan Berternak
Pada masa ini di sebut sebagai zaman Mesolithikum, sebagai lanjutan dari zaman berburu dan meramu. zaman Mesolithikum dimulai sejak 10.000 tahun yang lalu setelah zaman berburu dan meramu. Kehidupan manusia di zaman ini beralih dari berburu dan mengumpulkan makanan ( hunting and foof gathering ) menjadi menghasillkan makanan ( food producing ).
Pada zaman ini hutan dimanfaatkan menjadi lahan, untuk menamam tumbuhan yang berguna bagi keberlangsungan hidup. Kehidupan masyarakat juga, sudah mulai menetap dan hidup berkelompok. Selain itu, manusia sadar akan keterbatasan dan resiko dari berburu yang memakan waktu dan bahaya kematian di dalam hutan.
Manusia akhirnya memelihara hewan-hewan liar, dan mulai meninggalkan berburu. Hewan dipelihara dan diberikan makanan dengan tumbuhan, yang tanpa perlu di olah terlebih dahulu.
Dari ketiga perkembangan mata pencaharian manusia yang telah di paparkan penulis, ada satu kesamaan yang sangat vital. Kesamaan tersebut adalah ketergantuangan terhadap alam.
Pada mulanya manusia hidup bebas menginjakkan kaki dalam mengelola alam, sesuai dengan keinginanya. Tetapi dalam kebebasan manusia pada masa tersebut, alam tidak pernah dirusak atau dimanfaatkan secara berlebihan. Adanya sebuah kearifan lokal, tercipta dan harus di patuhi guna menjaga keseimbangan manusia dan alam.
Sejalan dengan ketergantungan akan alam, zaman berburu dan meramu manusia mengenal sistem menetap. Sistem menetap menjadikan manusia mengelola tanah, dan berlangsung pada tempat yang sama dalam jangka waktu lama. Tanah tersebut pun identik dengan siapa yang mengelolanya, secara tidak langsung tanah itu menjadi hak milik dari pengelolanya.
Tidak tau kapan pastinya sistem kepemilikan tanah, dalam suatu kelompok atau masyarakat diterapkan. Tetapi hak kepemilikan terhadap tanah, dipicu dari keberlangsungan hidup dan perkembangan pikiran manusia.
Ketika Indonesia belum merdeka, sistem kerajaan masih lekat dalam kehidupan masyarakat, dan kepemilkan tanah menjadi hak dari raja ( Penguasa ). Hal tersebut terbukti dari salah satu suku yaitu Suku Batak. Setiap anak atau keturunan raja, selalu memiliki tanah yang luas di suatu daerah tertentu.
Ketika zaman itu, si raja bebas menentukan anak atau keturunanya tinggal dimana saja dan membuka lahan baru sebagai perkampungan. Dalam bahasa batak orang yang pertama, membuka lahan perkampungan baru disebut sebagai sipukkah huta. Sipukkah huta adalah seorang yang memiliki garis keturunan dengan raja, dan ia menjadi penguasa di daerah perkampungan baru tersebut.
Sipukkah huta adalah orang yang berhak memiliki seluruh tanah di daerah perkampungan yang dibukanya, dan untuk batas sendiri bebas menentukan sesuai dengan keinginan. Karena pada mulanya hanya dia dan beberapa anggota keluarganya yang tinggal di daerah tersebut. Sipukkah huta menciptakan tatanan kehidupan, dan ia menjadi raja atas daerah perkampungan yang dibukanya.
Seiring dengan perkembangan populasi manusia, garis keturunan raja semakin banyak. Setiap keturunan raja, harus memiliki tanah untuk di olah dalam bertani dan berternak agar dapat bertahan hidup. Kepemilikan tanah pun menjadi banyak, proses pembagian tanah terjadi seiring dengan bertambahnya populasi/keturunan dan pendatang baru yang tinggal menetap.
Ada juga tanah yang bisa di kelola secara bersamaan, dalam suatu daerah. Kepemilikan tanah secara bersamaan, dalam hal ini di sebut sebagai tanah ulayat. Tanah ulayat di kuasai oleh masyarakat, dalam aturan sistem budaya setempat.
Legalitas dalam kepemilikan tanah, tidak mengenal sistem janji di atas kertas dengan tanda tangan sebagai pengukuhannya. Hanya dengan ucapan dari mulut ke mulut, hak milik tanah sudah berpindah tangan. Bukti dari batas kepemilikkan tanah, pada zaman ini orang menanam pohon ( Tumbuhan yang besar ).
Tanah dalam hal tersebut bukan hanya sekedar sebagai lahan untuk bertani dan berternak, tetapi sebagai identitas penguasa. Identitas penguasa ini erat kaitannya dengan klen/marga, karena setiap daerah memiliki klen/marga yang berbeda. Semakin banyaknya populasi suatu daearah, sistem sosial budaya tercipta untuk menjaga keseimbangan hidup antara manusia dan alam.
Tumpang Tindih Regulasi
Proses kemerdekaan Indonesia, membuat sistem kehidupan masyarakat adat lekat dengan regulasi formal dalam sebuah negara. Seluruh regulasi di buat untuk mengatur kehidupan masyarakat di dalamnya, termasuk kehidupan masyarakat desa.
Regulasi terkait tanah (Agraria) yang mengatur pembagian, peruntukan, dan kepemilikan lahan. Termasuk tanah ulayat yang di kelola dengan aturan masyarakat adat, harus tunduk kepada negara. Tumpang tindih antara aturan negara dan aturan masyarakat adat pun terjadi.
Wilayah lingkungan masyarakat adat, di pergunakan oleh sebuah perusahaan untuk menjalankan usahanya, seperti jenis perusahaan ekstraktif, perusahaan agraris dan perusahaan Industri.
Efek negatif yang biasanya di timbulkan perusahaan bagi masyarakat adat adalah, kerusakan lingkungan, tenaga kerja, dan perebutan tanah. Masyarakat akan melakukan segala upaya dalam mempertahankan tanah, yang dianggap mereka sudah di kelola dari nenek moyang mereka.
Masyarakat minim dengan, pengetahuan hukum agraria. Hal tersebut wajar, karena mereka hidup dengan adat istiadat mereka sendiri, yang sudah sejak lama melekat dalam hidup mereka.
Apabila suatu perusahaan mengklaim tanah masyarakat sebagai tanah milik mereka yang telah resmi memiliki surat dari negara, dan masyarakat adat mengklaim tanah tersebut tanah nenek moyang mereka yang sudah lama ada jauh sebelum negara ini ada. Pernyataan ini tentunya akan menimbulkan jawaban multi tafsir dah hal tersebut wajar saja.
Jaringan Konflik
Melihat fenomena konflik anatara perusahaan dan masyarakat, tentunya melibatkan berbagai pihak dalam prosesnya. Setiap konflik yang muncul, kerugian dirasakan oleh kelompok masyarakat, bukan pihak elit politik.
Penguasa -- Stakehokder -- militer/polisi : ini adalah sebuah jaringan kekuasan yang sering dihadapi oleh masyarakat. Masalah pembebasan tanah atau hak milik tanah, pihak-pihak pengusaha bisa menggunakan tenaga lain untuk melawan rakyat, seperti tenaga militer. Begitu juga pihak pemerintah yang ingin melakukan pembebasan lahan, mampu menggunakan tenaga militer untuk melawan rakyat apabila terjadi konflik.
Berbeda dengan aksi dari masyarakat ketika melakukan perlawanan. Masyarakat memiliki banyak keterbatasan, baik dari segi jumlah dan tenaga. Tindakan anarkis yang muncul dari masyarakat hanya sebatas tindakan sporadis.
Aksi masyarakat biasanya berbentuk demonstrasi, sabotase, dan boycot. Â Masyarakat pada umunya juga di bantu oleh, lembaga Swadaya masyarakat (LSM), untuk memperjuangakan hak mereka.
Epilog
Tanah merupakan sebuah kebutuhan vital manusia, berperan penting demi keberlangsungan hidup. Tanah masyarakat di daerah pedesaan/perkampungan mayoritas dipergunakan untuk bertani, dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Jika tanah tersebut harus di rampas diambil dari mereka, apa yang akan menjadi sumber penghasilan masyarakat. Konfilik yang jika di selesaikan dengan jalur hukum, tentunya akan ada yang kalah dan menang.
Apabila perusahaan yang kalah, tidak akan merugikan keberlangsungan hidup mereka, tetapi apabila masyarakat setempat yang bertanin harus di relakan untuk dilepas, kemana lagi mereka akan mencari nafkah untuk hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H