Ketika Indonesia belum merdeka, sistem kerajaan masih lekat dalam kehidupan masyarakat, dan kepemilkan tanah menjadi hak dari raja ( Penguasa ). Hal tersebut terbukti dari salah satu suku yaitu Suku Batak. Setiap anak atau keturunan raja, selalu memiliki tanah yang luas di suatu daerah tertentu.
Ketika zaman itu, si raja bebas menentukan anak atau keturunanya tinggal dimana saja dan membuka lahan baru sebagai perkampungan. Dalam bahasa batak orang yang pertama, membuka lahan perkampungan baru disebut sebagai sipukkah huta. Sipukkah huta adalah seorang yang memiliki garis keturunan dengan raja, dan ia menjadi penguasa di daerah perkampungan baru tersebut.
Sipukkah huta adalah orang yang berhak memiliki seluruh tanah di daerah perkampungan yang dibukanya, dan untuk batas sendiri bebas menentukan sesuai dengan keinginan. Karena pada mulanya hanya dia dan beberapa anggota keluarganya yang tinggal di daerah tersebut. Sipukkah huta menciptakan tatanan kehidupan, dan ia menjadi raja atas daerah perkampungan yang dibukanya.
Seiring dengan perkembangan populasi manusia, garis keturunan raja semakin banyak. Setiap keturunan raja, harus memiliki tanah untuk di olah dalam bertani dan berternak agar dapat bertahan hidup. Kepemilikan tanah pun menjadi banyak, proses pembagian tanah terjadi seiring dengan bertambahnya populasi/keturunan dan pendatang baru yang tinggal menetap.
Ada juga tanah yang bisa di kelola secara bersamaan, dalam suatu daerah. Kepemilikan tanah secara bersamaan, dalam hal ini di sebut sebagai tanah ulayat. Tanah ulayat di kuasai oleh masyarakat, dalam aturan sistem budaya setempat.
Legalitas dalam kepemilikan tanah, tidak mengenal sistem janji di atas kertas dengan tanda tangan sebagai pengukuhannya. Hanya dengan ucapan dari mulut ke mulut, hak milik tanah sudah berpindah tangan. Bukti dari batas kepemilikkan tanah, pada zaman ini orang menanam pohon ( Tumbuhan yang besar ).
Tanah dalam hal tersebut bukan hanya sekedar sebagai lahan untuk bertani dan berternak, tetapi sebagai identitas penguasa. Identitas penguasa ini erat kaitannya dengan klen/marga, karena setiap daerah memiliki klen/marga yang berbeda. Semakin banyaknya populasi suatu daearah, sistem sosial budaya tercipta untuk menjaga keseimbangan hidup antara manusia dan alam.
Tumpang Tindih Regulasi
Proses kemerdekaan Indonesia, membuat sistem kehidupan masyarakat adat lekat dengan regulasi formal dalam sebuah negara. Seluruh regulasi di buat untuk mengatur kehidupan masyarakat di dalamnya, termasuk kehidupan masyarakat desa.
Regulasi terkait tanah (Agraria) yang mengatur pembagian, peruntukan, dan kepemilikan lahan. Termasuk tanah ulayat yang di kelola dengan aturan masyarakat adat, harus tunduk kepada negara. Tumpang tindih antara aturan negara dan aturan masyarakat adat pun terjadi.
Wilayah lingkungan masyarakat adat, di pergunakan oleh sebuah perusahaan untuk menjalankan usahanya, seperti jenis perusahaan ekstraktif, perusahaan agraris dan perusahaan Industri.