Ke khasan masyarakat sederhana dalam menggunakan mata uang patut kita tiru. Seperti cerita seorang yang pernah tinggal selama 9 bulan pada suku bangsa Asmat di Irian Jaya.
Ia berada di sana pada pertengahan 1960-an, tahun-tahun ketika sistem moneter ( rupiah) mulai di perkenalkan. Orang tadi terheran-heran mengapa orang Irian tidak mau menerima uang rupiah kecuali yang kertasnya berwarna merah dengan tulisan 100,-!harga sebuah tas Noken suku asmat 500,-.Â
Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Noken harus di bayar dengan 5 lembar uang 100,-. Kalau pembeli ingin membayarnya dengan jumlah uang kertas yang yang nominalnya lain pembayaran pasti akan di tolak.(Sjahrir 1999:48).
Dari kehidupan suku Asmat tersebut, kita bisa lihat bahwasanya uang tersebut mempunyai nilai yang tidak bisa di persalah belikan. Harus sesuai dengan nilai dan fungsi uang, akan tetapi dewasa ini individu sudah tidak mengerti Uang itu fungsinya sebagai apa.Â
Semakin multi fungsinya uang Rupiah, uangpun digunakan untuk menyogok/menyuap. Padahal Fungsinya uang bukanlah seperti Itu. Perlunya edukasi bagi para individu ( terutuma para generasi Muda) terkait Fungsi Uang. Sehingga kelak mereka tidak akan menyalah gunakan uang, ke hal sogok menyogok ( korupsi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H