Asap tembakau semakin pekat.
“Masuk dulu kesini. Istirahat dan lepaskan dulu penatmu. Apa kamu haus?” katamu mencoba mengalihkan pembicaraan.
Orang itu menggeleng. Nyata-nyata sebuah paradoks menyusupi pikirannya, membikin dia tambah bingung. Kepalanya menoleh lagi ke arah barat tempat padang pasir yang baru dilaluinya terhampar. Lalu beralih ke timur di mana jalan setapak di depan rumahmu itu membelah jadi dua. Arah utara ke perbukitan tandus dan arah tenggara menghilang ditelan lekukan lembah. Bola matanya bergerak-gerak liar mencari-cari jawaban atas pertanyaan baru yang meletup-letup di kepalanya.
“Apa …saya sudah mati?” tanyanya dengan hati-hati.
Kamu tersenyum seperti sudah menunggu pertanyaan itu sedari tadi, memamerkan gusi yang hampir tak berpenghuni.
“Apa yang membuatmu berpikiran begitu?”
“Saya sudah berjalan berhari-hari tanpa makan dan minum melewati padang pasir itu. Namun saya tak merasa lapar dan haus. Bahkan, saya tidak berkeringat sama sekali. A …apakah tempat ini …” Ia tak sanggup menyelesaikan pertanyaannya. Lututnya gemetar.
Akhirnya kamu mengalihkan perhatian dari orang asing yang sekarang jatuh terduduk itu. Cangkir kopi di tanganmu masih mengepulkan asap, namun tak menjadi penghalang untuk mengecapnya.
Pahit.
Kamu mengangguk mengerti. Cangkir kopi itu kembali ke singgasananya di atas meja kecil dekat kursi goyang dan kamu beranjak berdiri. Rambutmu yang putih dan sedikit itu melambai-lambai tertiup angin gurun yang kering.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan orang benar,” hardikmu.