Mohon tunggu...
Ali Mahfud
Ali Mahfud Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, politik, sepak bola, dan penikmat es kelapa muda

Alam butuh keseimbangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Unidentified Love Story

30 November 2019   21:29 Diperbarui: 1 Desember 2019   04:18 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim kemarau.

Sungai Nayan tampak kering. Warna air yang menggenang, tak lagi mengalir seperti layaknya sungai pada umumnya, berubah biru. Bau amis cukup menyengat. Siapa pun yang melewati jembatan penyeberangan yang melintang di atas sungai itu pasti akan menutup hidung. Atau sekedar menahan napas.

Belakangan musim sering tak tentu. Di bulan November yang seharusnya sudah mulai hujan kekeringan masih melanda di mana-mana. Ketidaktentuan musim ini tentu mempengaruhi siklus tanam padi di ladang yang sangat mengandalkan musim. Orang-orang tua kesulitan menentukan waktu kapan harus membakar ladang, kapan harus mulai menanam. 

Sungai itu, pada rentang tahun 80 hingga 90an dulu, sering menampakkan keindahan dasarnya yang berhias ikan-ikan. Siapa pun yang melintas atau bermain rakit di atasnya pasti bisa dengan mudah menikmati keindahan dasar sungai yang jernih dan bersih. Air sungai pada waktu itu masih segar. Orang-orang bahkan sering meminumnya langsung, tanpa di masak. Dan itu sudah menjadi adat kebiasaan mereka. Meski begitu tak ada penduduk yang merasakan sakit perut atau dampak buruk lain dari mengonsumsi air mentah. 

Keadaan berubah sangat drastis sejak eksploitasi lahan oleh beberapa perusahaan asing yang datang bergelombang. Mereka mendirikan perkebunan sawit di mana-mana. Setiap ada kesempatan untuk mengeksekusi lahan, tanpa ambil tempo akan mereka sikat. Entah bagaimana caranya. Masyarakat kecil, rakyat jelata yang sejatinya adalah pemilik negeri ini, hanya menerima akibat buruk dari kebebasan berinvestasi yang dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah. 

Air sungai berubah warna. Volumenya berkurang. Baunya tak enak. Dan rasanya aneh. Tak ada lagi penduduk yang berani mengonsumsinya tanpa dimasak lebih dulu. 

Terlalu berisiko.

Sudah banyak orang yang menjadi korban atas buruknya kualitas air sungai yang menjadi pusat kehidupan seluruh penduduk kampung.

 Sore hari yang terang, sekitar pukul lima sore waktu Indonesia tengah, dari jarak yang tak begitu jauh kedua mata Rafa menangkap sesosok tubuh yang tak asing baginya. Ia tampak melangkah pelan mendekat ke tepi sungai Nayan seorang diri. Menggendong ember di pinggang, ember kecil yang sudah gompal bagian bibirnya dan pudar warna aslinya, Rila tampak sudah baikan.

Ia tak lagi terlihat seperti orang sakit. Padahal biasanya butuh waktu setidaknya satu minggu bagi siapa pun yang sakit parah usai diadakan upacara beliant untuk bisa kembali pulih seperti semula. Tapi Rila tak seperti kebanyakan orang. Setidaknya itu yang tertangkap kedua mata Rafa. 

Rafa masih ingat betul. Remaja yang baru saja lulus SMA itu masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana keadaan Rila sewaktu sekarat. Dua minggu, kurang lebih, rumahnya tak pernah sepi dari rapalan doa-doa para pemeliant yang memohon kesembuhannya.

Selama itu keadaan Rila, sahabat karibnya, tak juga menampakkan kemajuan. Ia tetap terbujur kaku. Matanya terbuka entah menatap apa. Kedua tangannya meremass ujung kaos hijau hadiah deterjen yang dikenakannya. Kaos terbaik dan terbaru yang ia punya, selain kaos partai tentunya. 

Tak ada sesiapa, saat itu, yang tahu penyebab sakit yang diderita gadis lugu itu. Pun termasuk orang tuanya. Hanya Rafa, orang terakhir yang jalan bersama dia yang mengerti sebab musabab sakit aneh yang diderita si gadis riang berambut panjang. 

Rafa akhirnya menyadari ada yang salah, yang tanpa ia sadari, telah melukai hati Rila. Selama ini Rafa menganggap Rila sebagai sahabat, murni sahabat. Namun, sepertinya Rila merasakan lain.

Mungkin memang selalu begitu jika dua sahabat yang selalu bersama akan menumbuhkan perasaan yang berbeda. Biasanya salah satu, atau keduanya. Rasa itu timbul entah oleh sebab apa. Tak ada yang tahu dan menyadari kapan bermula. 

Tiba-tiba ada rasa kehilangan ketika jarak, waktu dan keadaan memisahkan. 

Ada rasa rindu ketika lama tak bertemu. 

Ada rasa cemburu ketika orang lain yang dielu-elu. 

Itulah yang dirasakan Rila, remaja yang telah lama ditinggal mati ayahnya itu. Ia seolah mendapatkan sosok ayah baru di dalam diri Rafa. Sosok yang melindungi, memberi perhatian dan siap sedia mengulurkan pertolongan.

Sedikit ragu Rafa mendekat, mencoba menghampiri Rila yang sedang mencuci pakaian di tepi sungai. Baru beberapa langkah, Rafa ragu. Ia menghentikan langkahnya, mematung seperti batu. Namun, dorongan dari dalam hatinya menuntun kedua kaki itu kembali melangkah maju. Lagi-lagi Rafa ragu.

Ia berhenti, berniat balik arah. Tapi entah mengapa ada bisikan yang meyakinkan dirinya untuk mantap dan berani mendekati Rila. Degup jantung Rafa kencang terdengar. Seperti bunyi gong pemberi kabar kematian. Suaranya kencang dan menggetarkan. Anjing-anjing kudisan menyalak, merasa terganggu suara itu. 

Suasana menjadi canggung ketika kedua pasang mata itu bersitatap. Mendapati sosok Rafa di hadapannya, Rila sedikit kesal, tapi rindu. Ia kesal karena Rafa hanya menganggapnya sebagai sahabat. Ia rindu oleh sebab rasa cinta yang telanjur tumbuh dan melekat erat.

Sementara Rafa yang sejatinya merasa bersalah sejak peristiwa itu tak tahu harus bersikap apa. Mulutnya sempat terbuka, tapi seketika kedua bibirnya terkatup. Matanya loncat ke segala arah menatap apa pun di sekitar, kecuali wajah Rila.

Dan entah bagaimana itu bermula dalam diamnya Rafa memuji kecantikan Rila. Kecantikan yang ia dapati meski dengan menghindarkan kedua matanya dari menatap wajah Rila sahabat baiknya. Lama keadaan berlalu hening, sampai akhirnya Rila buka suara.

"Pergilah dari sini," pelan suara Rila.

Mendengar kalimat itu kedua mata Rafa cepat bereaksi. Ia sepertinya tak menduga kalimat semacam itu keluar dari mulut Rila. 

Mendapati reaksi Rafa yang di luar dugaan, gadis yang masih mengenakan kaos hijau bergambar deterjen itu cepat-cepat melanjutkan kalimatnya.

"Kau tidak bermaksud menonton aku mandi, kan?"

Wajah Rafa bersemu merah. Ia merasa malu. Buru-buru ia balik badan untuk melangkah pergi. Tapi, ia segera teringat untuk tujuan apa ia mendatangi Rila. Dengan wajah sedikit tertunduk, Rafa berujar:

"Esok aku akan pergi. Aku hanya ingin mengabarimu soal itu."

Tersentak Rila mendengar kalimat itu. Kedua bola matanya tampak membulat. Benarkah yang barusan kudengar?

"Aku akan melanjutkan sekolah ke Jawa. Aku datang untuk berpamitan."

Usai berkata demikian Rafa memutar badan, meninggalkan Rila yang masih tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.

Bersambung ....

(Cerpen ini adalah lanjutan dari Novelet Beliant yang pernah diterbitkan Bentang Pustaka versi ebook)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun