Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Pilkada dan Karpet Merah Para Pesohor

22 Juli 2024   10:05 Diperbarui: 22 Juli 2024   10:21 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marshel Widianto resmi diusung Gerindra di pilwalkot Tangerang Selatan. | Foto: liputan6.com

Selebriti yang terjun ke dunia politik bukan hal baru. Beberapa pesohor kini sudah malang melintang di perpolitikan tanah air. Sebut saja Rieke Diah Pitaloka alias Oneng dalam seri Bajaj Bajuri. 

Rieke terpilih sebagai anggota DPR periode 2009-2014 untuk dapil Jabar II. Rieke kemudian terpilih kembali untuk periode 2014 hingga sekarang mewakili dapil Jabar VI. Pada pemilu 2024, Rieke terpilih kembali sebagai anggota DPR. 

Selain Rieke, nama-nama seperti Eko Patrio, Ahmad Dhani, Once Mekel hingga artis milenial Verrel Bramasta kini terjun ke dua politik. 

Dalam demokrasi, setiap orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Termasuk para selebriti di atas.

Namun, jika ditelaah lebih jauh lagi, maraknya selebriti yang nyalon sebagai anggota legislatif atau kepala daerah memunculkan pertanyaan baru, bagaimana sistem kaderisasi partai berjalan? 

Karpet merah selebriti 

Ketika scroll reels instagram, tidak sengaja saya menemukan video artis kawakan Raffi Ahmad. Di dalam reels tersebut, Raffi yang tengah berada di dalam mobil merekam sebuah baliho besar dengan tulisan Marshel untuk Tangsel. 

Awalnya, saya menganggap hal itu hanya untuk jokes. Padahal, saat itu nama komika Marshel Widianto memang tengah dilirik Gerindra sebagai calon wakil walikota Tangerang Selatan. 

Tak lama setelah itu, Gerindra resmi usung Ahmad Riza Patria dan Marshel Widianto di Pilwalkot Tangerang Selatan. 

Tak hanya Gerindra, sejumlah parpol seperti Nasdem, PSI, hingga Demokrat ikut memberikan dukungan terhadap pasangan ini. 

Majunya Marshel Widianto sebagai calon wakil walikota Tangsel mendapat banyak sorotan, terutama dari warganet hingga sesama rekan komika. 

Hal itu wajar karena Marshel sama sekali tidak memiliki rekam jejak di pemerintahan. Jadi, warganet mempertanyakan kapasitas seorang Marshel yang akan memimpin nanti. 

Di sisi lain, sosok Marshel pun cukup kontroversi. Salah satunya ia pernah terlibat dalam jual beli konten pornografi Dea Onlyfans. 

Selain Marshel, istri Raffi Ahmad juga santer akan diduetkan di Pilgub Sumatera Utara. Nagita disebut-sebut akan mendampingi Bobby Nasution yang tak lain adalah menantu Presiden Joko Widodo. 

Ada alasan tersendiri mengapa partai politik lebih memilih selebriti. Para selebriti memiliki modal yang penting yaitu popularitas. Tentu saja hal itu bisa mendongkrak elektabilitas partai atau calon yang diusung. 

Suka atau tidak, cara ini memang cukup berhasil dan selalu berulang. Hal itu bisa kita lihat dari beberapa figur artis yang menang di Pikada. Sebut saja Rano Karno yang sukses menjadi Wakil Bupati Tangerang.

Tak hanya sebagai wakil bupati, Rano Karno juga naik menjadi Wakil Gubernur Banten hingga menjadi Gubernur Banten.

Selain Rano Karno, ada nama pesinetron Zumi Zola. Karier Zumi Zola cukup lengkap sebagai kepala daerah. Ia terpilih sebagai Bupati Tanjung Jabung Timur tahun 2011.

Ia lalu mengundurkan diri dari jabatan tersebut karena maju dalam Pilgub Jambi. Zumi terpilih, tapi ia terseret kasus korupsi pada tahun 2018.

Di daerah saya, Syahrul Gunawan sukses menjadi Wakil Bupati Kabupaten Bandung berpasangan dengan Dadang Supriatna. Ia santer dikabarkan akan kembali maju, kali ini sebagai Bupati dan besar kemungkinan akan berhadapan dengan Dadang Supriatna. 

Contoh di atas menjadi bukti bahwa popularitas tinggi para pesohor bisa menarik suara pemilih. Para pesohor ini setidaknya bisa menarik suara bagi yang tidak terlalu peduli dengan politik.

Di lingkungan saya sendiri, kebanyakan ibu-ibu atau mereka yang awam lebih memilih siapa yang terkenal. Begitu juga yang terjadi dengan Komeng. Kebanyakan memilih Komeng karena tahu sepak terjang Komeng di dunia hiburan dibanding calon lain. Hal yang sama juga berlaku untuk calon kepala daerah. 

Di sisi lain, dengan menggaet selebriti kecil kemungkinan akan terjadi manuver politik untuk mendorong kekuasannya. Jadi, dengan perhitungan itu partai politik lebih memilih selebriti dibanding calon lain. 

Popularitas memang sangat penting dan masih diandalkan hingga kini. Hanya saja, partai politik lebih memanfaatkan popularitas yang bukan ia ciptakan sendiri alias memilih jalan instan. 

Parpol gagal jalankan fungsinya

Dengan maraknya artis di pilkada kali ini menjadi bukti bahwa partai politik telah gagal dalam menjalankan fungsinya, yaitu kaderisasi. 

Partai politik gagal mencetak kader yang benar-benar lahir dari proses kaderisasi partai. Partai politik gagal mencetak kader yang benar-benar berjuang dari nol hingga menjadi seorang tokoh yang dikenal publik secara luas. 

Gagalnya kaderisasi partai menjadi alarm tersendiri bahwa meritokrasi telah padam. Kini, seseorang yang memiliki kapasitas saja belum cukup. Tapi, ia harus populer yang pada akhirnya partai politik terjebak pada dilematis popularitas.

Popularitas memang menjadi privilese yang penting. Akan tetapi, publik juga berhak memilih atau setidaknya disuguhi pilihan yang kompeten di bidangnya. Dan tugas itu ada pada partai politik.

Selain gagal dalam kaderisasi, partai politik juga gagal dalam proses rekrutmen politik. Seharusnya, dalam proses rekrutmen baik itu untuk calon legislatif atau kepala daerah harus dilakukan dengan ketat. 

Tidak masalah jika yang diusung parpol bukan dari internal partai. Asal, orang tersebut sudah melalui serangkaian rekrutmen yang ketat sehingga ia memang pantas ada di sana.

Misalnya dengan melibatkan lembaga independen seperti KPK. Para calon harus dilihat sejauh mana wawasannya terhadap korupsi. Jadi, jangan hanya populer, tapi calon yang diusung harus melalui seleksi yang ketat. 

Dengan demikian, sistem meritokrasi benar-benar berjalan. Akan tetapi, daripada memilih sistem tersebut, nyatanya parpol lebih memilih cara instan. Jadi, jangan heran jika fenomena ini akan terus terulang karena parpol sepertinya ogah menjalankan kaderisasi atau sistem rekrutmen yang ketat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun