Di lingkungan saya sendiri, kebanyakan ibu-ibu atau mereka yang awam lebih memilih siapa yang terkenal. Begitu juga yang terjadi dengan Komeng. Kebanyakan memilih Komeng karena tahu sepak terjang Komeng di dunia hiburan dibanding calon lain. Hal yang sama juga berlaku untuk calon kepala daerah.Â
Di sisi lain, dengan menggaet selebriti kecil kemungkinan akan terjadi manuver politik untuk mendorong kekuasannya. Jadi, dengan perhitungan itu partai politik lebih memilih selebriti dibanding calon lain.Â
Popularitas memang sangat penting dan masih diandalkan hingga kini. Hanya saja, partai politik lebih memanfaatkan popularitas yang bukan ia ciptakan sendiri alias memilih jalan instan.Â
Parpol gagal jalankan fungsinya
Dengan maraknya artis di pilkada kali ini menjadi bukti bahwa partai politik telah gagal dalam menjalankan fungsinya, yaitu kaderisasi.Â
Partai politik gagal mencetak kader yang benar-benar lahir dari proses kaderisasi partai. Partai politik gagal mencetak kader yang benar-benar berjuang dari nol hingga menjadi seorang tokoh yang dikenal publik secara luas.Â
Gagalnya kaderisasi partai menjadi alarm tersendiri bahwa meritokrasi telah padam. Kini, seseorang yang memiliki kapasitas saja belum cukup. Tapi, ia harus populer yang pada akhirnya partai politik terjebak pada dilematis popularitas.
Popularitas memang menjadi privilese yang penting. Akan tetapi, publik juga berhak memilih atau setidaknya disuguhi pilihan yang kompeten di bidangnya. Dan tugas itu ada pada partai politik.
Selain gagal dalam kaderisasi, partai politik juga gagal dalam proses rekrutmen politik. Seharusnya, dalam proses rekrutmen baik itu untuk calon legislatif atau kepala daerah harus dilakukan dengan ketat.Â
Tidak masalah jika yang diusung parpol bukan dari internal partai. Asal, orang tersebut sudah melalui serangkaian rekrutmen yang ketat sehingga ia memang pantas ada di sana.
Misalnya dengan melibatkan lembaga independen seperti KPK. Para calon harus dilihat sejauh mana wawasannya terhadap korupsi. Jadi, jangan hanya populer, tapi calon yang diusung harus melalui seleksi yang ketat.Â
Dengan demikian, sistem meritokrasi benar-benar berjalan. Akan tetapi, daripada memilih sistem tersebut, nyatanya parpol lebih memilih cara instan. Jadi, jangan heran jika fenomena ini akan terus terulang karena parpol sepertinya ogah menjalankan kaderisasi atau sistem rekrutmen yang ketat.Â