Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saat Luka Lama Hadir Kembali di Piala Eropa 2024

2 Juli 2024   12:04 Diperbarui: 2 Juli 2024   12:08 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mirlind Daku, striker Albania disanksi dua laga karena pimpin nyanyian anti Serbia. | Foto: The Guardian

Piala Eropa menjadi panggung tersendiri bagi pecinta sepak bola. Ada yang menyebut jika Piala Eropa jauh lebih sulit dibanding Piala Dunia. 

Hal itu karena negara dengan ranking atas FIFA mayoritas berada di benua biru. Jadi, anggapan itu mungkin tidak sepenuhnya salah.

Dengan kata lain, selain Piala Dunia, Piala Eropa bisa dikatakan adalah turnamen yang eksistensinya bisa menyaingi Piala Dunia. 

Di sisi lain, gelaran Piala Eropa di Jerman kali ini penuh kejutan baik di dalam maupun luar lapangan. Hingga artikel ini dibuat, jumlah gol bunuh diri jauh lebih banyak dibanding top score. 

Jamal Musiala dan pemain Georgia Georges Mikautadze masing-masing mencetak tiga gol. Sementara itu, gol bunuh diri sudah tercipta sembilan gol. 

Bahkan, Prancis yang melanggeng ke babak delapan besar terjadi karena gol bunuh diri pemain Belgia. 

Cerita lain tentu datang dari Georgia. Meski baru debut perdana, Georgia sudah unjuk gigi. Pada laga terakhir babak grup berhasil unggul 2-0 atas Portugal dan menantang Spanyol di babak 16 besar. 

Georgia tidak bisa mengulang kejutan karena kalah 4-1. Sejarah baru Georgia tidak berbanding lurus dengan perjalanan Italia. Menyandang status juara bertahan, Italia terhenti di babak 16 besar oleh Swiss. 

Inggris menjadi tim paling difavoritkan juara. Akan tetapi, penampilan di lapangan kurang meyakinkan. Anak asuhan Southgate itu bahkan butuh waktu hingga extra time untuk mengalahkan Slovakia di babak 16 besar.

Di luar itu, ada cerita menarik yang terjadi di luar lapangan. Khususnya pertikaian antarsuporter yang memiliki latar belakang cukup mendalam akibat konflik.

Cerita di luar lapangan 

Dalam laga Grup B yang mempertemukan Kroasia dan Albania pada Rabu (19/06/2024), kedua suporter kompak menyanyikan yel-yel anti-Serbia. Sontak aksi itu mendapat protes dari Serbia. 

Serbia mengancam akan mundur dari turnamen jika UEFA tidak menindak tegas kejadian tersebut. Di sisi lain, pemain Albania yaitu Mirlind Daku justru ikut memimpin yel-yel tersebut usai laga. 

Akibatnya, Daku mendapat sanksi larangan bermain dari UEFA saat Albania berjumpa Spanyol di laga terakhir Grup B. 

Di sisi lain, pendukung Serbia pun melakukan hal yang sama. Saat melawan Inggris di babak grup, pendukung Serbia membentangkan spanduk bergambar peta Kosovo. 

Pesan dari spanduk tersebut seolah mengatakan bahwa Serbia masih menganggap Kosovo sebagai bagian dari negaranya. Padahal, Kosovo sudah memerdekakan diri pada tahun 2008.

Dalam laga yang sama, terdapat seorang jurnalis asal Kosovo yang memprovokasi pendukung Serbia dengan menunjukkan gestur tangan elang berkepala dua. Elang berkepala dua merupakan simbol yang ada di bendera Albania. 

Jika ditelisik, penduduk Kosovo mayoritas adalah etnis Albania. Sejak Kosovo merdeka, ada wacana penyatuan Albania dan Kosovo. 

Mundur satu dekade silam, pada laga Kualifikasi Piala Eropa 2016 antara Serbia menghadapi Albania berakhir dengan ricuh. 

Sepanjang laga, pendukung Serbia menyanyikan yel-yel yang berisi ujaran kebencian kepada orang Albania. Entah datang darimana, muncul sebuah drone yang membawa bendera Albania. 

Tentu kondisi itu kian memanas dan akhirnya pertandingan berakhir dengan ricuh. 

Piala Eropa memang mengundang urat syaraf khususnya bagi negara-negara Balkan yang memiliki sejarah panjang. Akibatnya konflik masa lalu itu seolah terus diwariskan hingga kini, bahkan masuk ke ranah sepak bola. 

Warisan konflik masa lalu 

Yugoslavia merupakan negara multientik di Eropa Tenggara (Balkan) yang menganut sistem partai tunggal setelah Komunis memegang kekuasaan. 

Memasuki abad ke-20, perang dingin memang telah berakhir. Akan tetapi, di Eropa tetap bergejolak khususnya di Balkan. 

Yugoslavia berada di ujung perpecahan hal itu karena etnis-etnis seperti Kroasia, Slovenia, Bosnia, Makedonia, hingga Kosovo ingin memerdekakan diri. Hanya Serbia yang ingin mempertahankan Republik Federal Sosialis Yugoslavia. 

Sementara Albania merupakan pengecualian karena telah merdeka sejak tahun 1926. Pada tahun 1946, bentuk negara Albania berubah dari kerajaan menjadi republik. 

Pada awal 1990-an, terjadi perpecahan yang membuat Yugoslavia runtuh pada tahun 1992.

Meninggalnya Josep Broz Tito membawa dampak luar biasa bagi Yugoslavia. Hal itu karena terjadi konflik antaretnis, bahkan hingga agama. 

Kondisi itu semakin parah dengan terpilihnya Slobodan Milosevic sebagai Presiden Serbia pada 1989. Hal itu karena Milosevic membawa kebijakan yang diskriminatif. 

Tentu hal tersebut tidak bisa lepas dari pengalaman masa lalu. Di mana saat Serbia bergabung dengan Yugoslavia hak mereka seakan dikurangi. 

Seiring dengan runtuhnya komunisme di Eropa, maka bibit-bibit nasionalisme pun mulai muncul. Itu sebabnya negara bagian yang berada di Yugoslavia ingin memerdekakan diri. 

Pada tahun 1991, Kroasia dan Sloevnia memerdekakan diri dari Yugoslavia. Setelah itu, disusul oleh Makedonia dan Bosnia Herzegovina yang memisahkan diri dari Yugoslavia. 

Tak lupa pada tahun 1995-1998 terjadi pemberontakan di Kosovo. Saat itu, Albania memasok persenjataan Kosovo karena banyak warga Kosovo yang beretnis Albania. 

Alhasil, Albania masih memiliki luka yang cukup dalam dengan Serbia. Setelah itu, Yugoslavia benar-benar runtuh dan kini terbagi menjadi tujuh negara yaitu Kroasia, Slovenia, Bosnia Herzegovina, Makedonia Utara, Montenegro, Serbia, dan Kosovo. 

Di luar konflik tersebut, sepak bola merupakan salah satu cara untuk mempersatukan sebuah bangsa. Dalam satu tim, terdapat berbagai orang dengan latar belakang berbeda. Tetapi bisa bersatu dengan sepak bola.  

Dengan sepak bola, seluruh orang di dunia bisa satu suara menyuarakan kemanusiaan. Seharusnya pesan tersebut tidak hanya datang dari pemain, tetapi bagi seluruh kalangan termasuk suporter. 

Sepak bola adalah olahraga populer di dunia. Tentu hal itu menjadi efektif dalam menyuarakan perdamaian. Khususnya bagi negara yang memiliki konflik panjang. 

Salah satu yang bisa diupayakan adalah dengan menjadi tuan rumah bersama. Misalnya di Piala Dunia 2002 yang digelar di Korea Selatan dan Jepang. 

Kedua negara itu memiliki sejarah yang kurang baik. Mungkin saja upaya yang sama bisa dilakukan dengan menyatukan negara Balkan dalam satu event besar seperti Piala Dunia. 

Mengingat, di Piala Dunia 2026 nanti peserta semakin banyak, tuan rumah pun demikian. Mungkin hal itu bisa dicoba di negara Balkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun