Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Garuda Pertiwi Jadi Lumbung Gol di Piala Asia U17 dan Kebijakan PSSI yang Terlalu Patriakis

10 Mei 2024   10:20 Diperbarui: 10 Mei 2024   19:14 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perayaan gol Claudia Scheunemann dalam laga Grup Piala Asia U17 Putri 2024 antara timnas U17 Putri Indonesia vs FIlipina. | Dok. PSSI via KOMPAS.COM

Hampir semua perhatian pencinta sepak bola tanah air tertuju pada Timnas U-23. Hal itu wajar karena Garuda Muda menjalani debut manis di Piala Asia U23.

Sebagai tim debutan, anak asuhan STY finis di peringkat empat turnamen. Euforia terasa saat Indonesia berhasil menyingkirkan Korea Selatan lewat adu penalti di babak perempat final. 

Asa untuk bermain di Olimpiade Paris 2024 terbuka lebar. Garuda Muda hanya butuh satu kemenangan lagi. Hanya saja, di semifinal kalah dari Uzbekistan dengan skor 2-0.

Begitu juga dalam perebutan peringkat tiga, Indonesia kalah tipis dari Irak dengan skor 2-1. Sejatinya, masih ada kesempatan untuk mengunci satu tiket Olimpiade Paris yaitu menang atas Guinea di babak play off. 

Sayang, Indonesia gagal memanfaatkan peluang dan kalah dengan skor tipis 1-0. Asa untuk bermain di Paris pupus. Tapi, lebih daripada itu, tim ini memiliki masa depan yang cerah. 

Di luar euforia tadi, di dalam negeri Timnas U-17 Putri tengah berpartisipasi di Piala Asia. Mungkin Piala Asia ini tidak terlalu menarik perhatian. Atau masih kalah dari euforia Timnas U-23.

Garuda Pertiwi berada di Grup A bersama dengan Korea Selatan, Korea Utara, dan Philipina. 

Di laga perdana, Garuda Pertiwi harus mengakui keunggulan Philipina dengan skor telak 6-1.

Di laga kedua, Garuda Pertiwi bertemu tim kuat Korea Selatan. Hasilnya, anak asuhan Satoru Mochizuki itu dibantai dengan skor selusin gol tanpa balas. Dengan hasil itu, Garuda Pertiwi dipastikan tersingkir dan menjadi juru kunci grup. 

Dalam sesi wawancara, pelatih Timnas Putri U-17, Satoru Mochizuki menyebut di ruang ganti beberapa anak asuhannya menangis karena merasa kecewa. 

Melihat pernyataan sang pelatih, saya sendiri ikut terenyuh dengan kondisi itu. Garuda Pertiwi bak turun ke medan perang dengan senjata sendok dan garpu. Sementara lawan sudah dibekali senjata yang jauh lebih canggih. 

Liga Putri ke Mana? 

Seingat saya, Timnas Putri dalam beberapa kejuaraan selalu menjadi lumbung gol. Entah di kompetisi ASEAN atau Asia. Mengapa ini bisa terjadi? 

Tentu jawabannya simpel, yaitu tidak ada Liga Putri. Bayangkan saja, pemain bisa mendapatkan jam terbang lewat kompetisi reguler. Dari situ, sentuhan mereka akan terus terjaga dan stabil. 

Lalu, bagaimana pemain bisa mendapatkan itu semua jika liga saja tidak ada? Maka jangan heran jika Garuda Pertiwi selalu menjadi lumbung gol karena kurangnya menit bermain di kompetisi lokal. 

Jika kita ingat kembali, terakhir kali kita memiliki Liga Putri adalah tahun 2019! Setelah itu tidak ada lagi. PSSI seolah-olah hanya peduli pada pembinaan sepak bola pria dan mengkerdilkan sepak bola wanita. 

Di tangan Erick Thohir pun entah kapan Liga Putri akan bergulir. Erick berujar Liga Putri belum bisa bergulir tahun 2024 dengan alasan ingin ada kompetisi yang berkelanjutan. 

Langkah awal yang diambil ialah dengan membentuk fondasi timnas saat ini. Pertanyaan mendasarnya adalah darimana PSSI mendapatkan pemain jika liganya tidak ada? 

Seharusnya untuk membentuk timnas yang kuat dengan menjalankan liga lebih dulu, bukan dibalik. 

Jika dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, liga putri kita teringgal jauh. Bahkan kalah dari Timor Leste. 

Sejauh ini, Thailand dan Philipina menjadi dua negara yang memiliki wadah untuk itu. Di duna negara itu, setidaknya ada 10 klub yang berpartisipasi. 

Jadi, jangan heran jika kita dibantai Philipina di laga perdana karena mereka sudah memiliki kompetisi reguler. 

Negara lain seperti Kamboja, Laos, Vietnam, dan Singapura sama-sama memiliki kompetisi sepak bola putri yang diramaikan oleh delapan klub peserta. 

Adapun Malaysia, Myanmar, dan Timor Leste menggelar kompetisi yang diikuti enam kontestan.

Di Indonesia, Liga Putri digelar pertama tahun 2019 sekaligus menjadi yang terakhir. Jika dilihat-lihat, mayoritas Ketua PSSI memang tidak memprioritaskan kompetisi putri. 

Maka jangan heran jika Timnas Putri kita selalu jadi lumbung gol. Bisa jadi, bermain di Timnas menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan menit bermain. 

Di sisi lain, kompetisi antarnegara seperti itu hanya untuk jangka pendek dan tidak efektif untuk menambah jam terbang. 

Sekali lagi, ini adalah PR besar PSSI. Jangan sampai ada cap PSSI patriarki karena hanya berfokus pada pembinaan putra. Baik putra atau putri memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri di bidang olahraga, terutama sepak bola. 

PSSI selaku induk sepak bola Indonesia harus bisa menyediakan wadah bagi para wanita untuk mengembangkan bakat. Jangan sampai bibit muda kita mati sebelum dipanen karena tidak adanya kompetisi reguler. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun