Ini juga yang disoroti PSSI khusunya Erick Thohir. Erick menilai jika permainan Indonesia sudah baik, hanya kurang dari sisi penyelesaian akhir. Erick justru menilai tugas STYlah yang harus memoles striker agar lebih tajam.Â
"Lihat bagaimana Australia kemarin, jarang menyerang, tapi selalu efektif mencetak gol. Harus seperti itu. Tugas STY untuk segera benahi sektor itu agar target tercapai,"Â ujar Erick
Lalu, apakah benar terkait minimnya striker tajam adalah tugas pelatih?Â
Bukan tugas pelatihÂ
Ketika STY datang pertama kali ke Indonesia, ia mengeluh karena pemain Indonesia masih bermasalah dalam hal passing. Padahal, passing adalah teknik dasar.Â
Seharusnya teknik-teknik dasar seperti itu sudah khatam bagi pemain profesional. Sehingga tugas pelatih tidak dari awal lagi tapi sudah ke pemahaman taktikal.Â
Artinya, terkait hal elementer seperti passing pun sebenarnya bukan tugas pelatih tapi saat masih di akademi. Begitu juga dengan menciptakan striker tajam.Â
Pelatih hanya melihat potensi pemain. Selebihnya terkait sentuhan maupun penyelesaian akhir seharusnya sudah didapat di akademi. Jadi, pelatih tinggal memoles lebih tajam lagi.Â
Selain itu, mininmya striker lokal sangat kompleks. Lihat saja kompetisi liga kita yaitu Liga 1. Dari empat tim teratas, hampir semuanya lini depan diisi oleh striker asing.Â
Empat tim teratas saat ini yaitu Borneo FC, Bali United, Persib Bandung, dan PSIS Semarang, lini depan mereka diisi oleh pemain asing. Jika ada lokal, itupun jadi pelapis.Â
Maka, jangan heran jika kita melihat top skor Liga 1 didominasi oleh pemain asing. Saat inipun top skor masih diisi oleh pemain asing. Rasanya jarang pemain lokal bisa menciptakan dua digit gol dalam satu musim liga.Â
Kredit bagi Ramadhan Sananta yang berhasil mencetak 11 gol saat membela PSM Makassar. Di Persis Solo, Sananta juga terbilang tajam dan sudah mencetak 7 gol dari 18 pertandingan.Â