Jauh sebelum iklan di TV, saya tahu PSI di facebook. Entah bagaimana laman PSI muncul di beranda saya. Mungkin karena saya getol mencari informasi seputar politik jadi laman PSI otomatis muncul.Â
Tapi, saya tertarik dengan PSI karena berisi anak muda. PSI membawa hal baru yaitu politik anak muda. Seperti yang kita ketahui, anak muda sering dianggap tidak tahu apa-apa oleh mereka yang tua-tua.Â
Jadi, menciptakan wadah sendiri untuk berpolitik adalah pilihan terbaik. Semangat itulah yang membuat saya tertarik. Apalagi, saat itu figur muda seperti Tsamara Amany juga ikut masuk.Â
Selain itu, PSI juga getol menyuarakan idealismenya yaitu meritokrasi. Pandangan ini mengedapankan kapasitas dan kompetensi individu untuk menduduki posisi tertentu.Â
Pandangan itulah yang membuat saya tertarik dan memilih PSI di pemilu 2019. Meski tidak masuk parlemen, saya tetap percaya jika idealisme itu akan terus ada.Â
Namun, jika melihat kasus saat ini, saya justru mempertanyakan di mana idealisme itu? Bukannya saya meragukan kapasitas Kaesang, tapi bukankah untuk menduduki posisi ketua partai tidak mudah?Â
Butuh waktu dan proses yang cukup lama. Katakanlah dimulai dari simpatisan, kader, sekjen, hingga ketua partai. Artinya proses itu harus dilalui untuk bisa pada posisi itu.Â
Apalagi, Kaesang secara tegas mengakui bahwa ia memiliki privillege sebagai anak presiden sehingga bisa menjadi ketua partai. Artinya dengan mengacu pada kasus itu, di manakah meritokrasi itu?Â
Justru dengan praktik tersebut mencerminkan buruknya demokrasi partai. Mengapa tidak memilih kader lain yang merangkak dari bawah? Apalagi proses tersebut jauh dari Muktamar atau Munas.Â
Dengan instanya Kaesang menjadi ketua partai, maka bagi saya citra partai yang identik dengan demokrasi tercoreng. Entah apa yang dilakukan oleh PSI.Â
Apakah ada kepentingan lain? Misalnya ingin mengamankan suara di Pemilu 2024?Â