Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ketika TikTok Shop Bermain di Area Abu-abu

21 September 2023   10:23 Diperbarui: 21 September 2023   14:44 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jumlah pengguna TikTok di dunia bulan April 2023. | Foto: katadata.co.id

Belakangan, publik dihebohkan dengan kondisi pasar Tanah Abang yang sepi pengunjung. Padahal, Tanah Abang disebut sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara.

Tentu sebagai pasar terbesar di ASEAN, seharusnya kondisi pasar ramai dengan pengunjung. Tapi, kali ini Tanah Abang sepi dan berbeda dari biasanya.

Sebagian pedagang mengaku jika kondisi tersebut tidak terlepas dari fenomena TikTok Shop. Banyak pembeli yang tadinya belanja offline mulai beralih menggunakan TikTok Shop. Apalagi, saat ini ada fitur siaran langsung.

Bukannya tidak ingin mengikuti perkembangan zaman, para pedagang di Tanah Abang juga melakukan hal serupa yaitu live TikTok.

Tapi, meski sudah melakukannya, tidak ada yang menonton siaran mereka. Selain itu, harga yang ditawarkan di TikTok jauh lebih murah.

Tentu hal tersebut masuk akal. Harga barang di Tanah Abang tentu disesuaikan dengan beberapa faktor, misalnya uang sewa kios dan menyesuaikan harga dari produsen. Artinya, kebanyakan dari mereka adalah reseller.

Sementara di TikTok tidak demikian, itu sebabnya harga barang di sana jauh lebih murah karena produsen di tingkat pertama yang langsung menjualnya. 

Melihat kondisi ini, pemerinah bergerak cepat yaitu dengan melarang fitur TikTok Shop. Lalu, apakah langkah tersebut merupakan jawaban dari persoalan yang ada?

TikTok dan Area Abu-abu

TikTok adalah media sosial yang cukup baru jika dibandingkan dengan media sosial lain seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Meskipun baru, TikTok mampu bersaing. Hal itu bisa dilihat dari jumlah penggunanya.

TikTok diluncurkan pada tahun 2016. Per bulan April 2023, pengguna TikTok di seluruh dunia mencapai 1,09 miliar. 

Pengguna TikTok di seluruh dunia bertambah 12,6% dibandingkan pada tahun sebelumnya (year-on-year). Jika dibandingkan kuartal sebelumnya, aplikasi besutan Bytedance ini naik 3,9% (quarter-to-quarter)

Meski berasal dari China, justru pengguna TikTok terbanyak di dunia adalah Amerika Serikat dengan 116,49 juta pengguna. 

Indonesia sendiri berada di posisi kedua dengan jumlah pengguna mencapai 112,97 juta dan hanya berselisih 3,52 juta dari Amerika Serikat. 

Jumlah pengguna TikTok di dunia bulan April 2023. | Foto: katadata.co.id
Jumlah pengguna TikTok di dunia bulan April 2023. | Foto: katadata.co.id

Tentu di balik meningkatnya pengguna TikTok tidak terlepas dari fitur yang disediakan. Salah satu fitur tersebut adalah video pendek yang disertai dengan musik. 

Terbukti, fitur tersebut sukses menyedot pengguna baru dan sejumlah media sosial lain mengeluarkan fitur serupa. Misalnya Instagram yang membuat reels atau YouTube yang membuat short video. 

Dari sisi persaingan bisnis, tentu hal itu tidak masalah karena masih dalam ranah media sosial. Tapi, TikTok melenceng jauh dengan adanya fitur TikTok Shop. 

Dalam posisi ini, TikTok sebagai media sosial sudah merangkap dengan e-commerce sehingga menjadi social commerce. 

Dengan bergabungnya media sosial dan e-commerce, maka TikTok sudah bermain di area abu-abu karena regulasinya belum ada. Alias, TikTok bermain di dua kaki. 

Di Indonesia, regulasi terkait media sosial berada di bawah Kementerian Komunikasi (Kominfo). Sementara untuk perdagangan di dunia digital diatur oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Praktis, dengan bermain di dua kaki, maka saat ini TikTok sulit disentuh. Tidak hanya media sosial, e-commerce pun tentu terganggu dengan adanya TikTok Shop karena pengguna perlahan-lahan mulai beralih. 

Untuk mengakali itu, e-commerce membuat fitur serupa yaitu live streaming. Dari sisi kemajuan teknologi, tentu inovasi TikTok mampu mendorong aplikasi lain membuat hal serupa. Tapi, perlu dilihat kembali apakah inovasi itu menguntungkan pedagang kecil (UMKM) atau tidak. 

Sebelumnya, di Inggris sempat ramai dengan Project S TikTok. Masyarakat di Inggris ramai berbelanja produk asal China melalui TikTok.

Lalu, apa sebabnya produk dari China itu bisa masuk ke Inggris? Tentu mereka memakai algoritma. Pihak TikTok akan meninjau barang apa saja yang sedang tren di Inggris. Berkat data yang mereka punya, TikTok akrhinya membuat produk serupa. 

Produk tersebut dijual dengan harga yang murah karena transaksi terjadi langsung di TikTok. Selain itu, nantinya algoritma yang akan menentukan. Produk-produk yang banyak dijangkau (FYP) adalah produk dari TikTok dan produk lokal sulit naik. 

Project S inilah yang lantang ditolak pemerintah karena bisa membunuh UMKM. Tampaknya, hal itu sudah terasa saat ini. UMKM mulai terancam dan pemerintah harus segera mencari solusi untuk menangani masalah ini. 

Hal ini bisa kita lihat dengan beberapa pengakuan masyarakat yang sudah mengikuti live streaming tapi tidak ada yang menonton. Artinya, sistem algoritma yang dijelaskan di awal tadi memang merugikan pedagang kecil. 

Selain sulit untuk FYP karena harus melawan algoritma, persaingan lainnya adalah barang yang dijual terlalu murah. Menurut Teten Masduki hampir 80 persen produk yang dijual berasal dari China. 

Coba Anda lihat harga barang yang dijual di TikTok Shop, ada sweeter dengan harga Rp. 20.000 saja. Tentu dengan harga itu maka UMKM kita sulit bersaing karena biaya produksi tidak murah.  

Seperti yang disinggung di atas, Indonesia adalah negara kedua di dunia dengan pengguna TikTok terbanyak. Jadi, bisa dibayangkan orang yang tadinya hanya bermain media sosial bisa berubah pikiran menjadi konsumen. Dari sinilah TikTok sukses meraup cuan. 

Lalu, apa bedanya TikTok Shop dengan marketplace di Facebook dan Instagram? Tentu berbeda. Facebook atau Instagram hanya sarana untuk mengiklankan produk. 

Sementara transaksi sendiri dilakukan di luar aplikasi. Artinya hanya sebagai perantara atau penghubung dengan website resmi penjual. 

Berbeda dengan TikTok Shop yang bisa langsung transaksi di aplikasi. Jika melihat pada konsep media sosial, maka jelas konsep ini sudah jauh melenceng. 

Meski termasuk ke dalam inovasi dalam dunia digital, tapi pemerintah harus jeli. Jangan sampai inovasi tersebut merugikan UMKM. UMKM adalah penopang ekonomi Indonesia. Apa yang akan terjadi jika UMKM kita hancur? 

Revisi regulasi

Langkah yang paling masuk akal adalah dengan menyediakan payung hukum baru khusunya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE).

Revisi bisa menjadi solusi untuk mengatasi polemik yang ada. Posisi TikTok harus jelas, apakah sebagai media sosial atau e-commerce. 

Selain itu, jika memang ingin berbisnis di keduanya, maka TikTok Shop dan TikTok harus dibuat secara terpisah. Jangan disatukan seperti saat ini. 

Selain itu, perizinan barang impor juga harus lebih tepat. Hak itu agar barang terkena bea dan dengan begitu, maka barang yang dijual tidak akan murah alias bisa bersaing. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun