Itu sebabnya, apa yang saya temui di jalan berupa baliho atau aji mumpung elit partai yang ramai-ramai nyaleg karena telah memiliki modal popularitas secara politis.Â
Tentunya partai politik lebih memilih sikap instan tersebut daripada menyodorkan kadernya sendiri. Hal sama juga berlaku bagi artis yang nyaleg. Mereka memiliki modal yang kuat, yaitu popularitas.Â
Tapi, praktik tersebut jelas merugikan kader lain yang tidak memiliki modal popularitas atau uang. Kenyataannya, banyak dari mereka yang populer tidak pernah ikut atau menjadi kader partai.Â
Sementara itu, kader partai yang tidak memiliki koneksi seluas itu akan tersisih. Akibatnya, akses bagi kader-kader ini tertutup karena praktik nepotisme yang ujung-ujungnya memonopoli.Â
Orang-orang yang berkopetensi tersisih oleh praktik nepotisme. Di sinilah pudarnya meritokrasi itu. Kemampuan individu tidak lagi menjadi faktor penentu, tapi ditentukan oleh kekerabatan dan popularitas.
Pada akhirnya, partai politik yang melakukan hal tersebut akan menyumbat salah satu fungsinya yaitu kaderisasi. Padahal, dengan kaderisasi akan tercipta sosok pemimpin di masa depan baik itu di internal partai atau nasional.Â
Gagalnya kaderisasi akan membuat partai sulit mengusung pemimpin baik di daerah mau pun nasional. Maka, pilihan praktisnya adalah mereka yang populer atau yang dekat dengan sanak famili.Â
Hal ini bisa kita lihat beberapa partai kerap mengusung kerabat atau artis. Artinya, tidak ada sosok kader tulen partai yang muncul baik dalam kepemimpinan daerah maupun nasional.Â
Padahal, untuk bisa satu haluan dengan partai, maka calon pemimpin tersebut harus ditelurkan melalui kaderasasi.
Munculnya politik kekerabatan jelas menyisihkan mereka yang benar-benar memulai karir politiknya dari nol. Bisa jadi, orang-orang yang terisisih tersebut memiliki kapasitas jauh mumpuni dari mereka yang memiliki koneksi dengan kerabat dekat.Â
Praktiks, dengan adanya praktik ini maka kemampuan individu sudah tidak berguna karena kalah melawan sistem yang telah rusak, yaitu nepotisme yang ujung-ujungnya memonopoli.Â