Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konflik Kepentingan Sanak Famili dan Pudarnya Meritokrasi Jelang Pemilu 2024

1 September 2023   13:13 Diperbarui: 1 September 2023   13:21 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iustrasi.| Foto: kompas.com

Ketika berangkat kerja, saya melihat satu baliho cukup besar. Di sana terpampang calon DPRD Kabupaten Bandung. Yang jelas, caleg adalah sosok anak muda.

Di dalam baliho, tertulis nama calon dan yang unik di belakang namanya tertulis kata "bin" diteruskan nama sang ayah. Tidak ada gelar akademik apa pun. Di belakang nama hanya tertulis nama sang ayah. 

Si ayah tak lain adalah seorang kepala desa yang cukup terkenal di desa saya dan tetangga. Track record sang ayah sebagai kades dan kepemimpinannya memang cukup terkenal entah itu karena prestasi atau sensasi. 

Yang jelas, jika tidak menyelipkan nama ayah di belakang namanya, saya tidak tahu siapa calon tersebut sebenarnya. Dia memakai nama bapaknya agar jauh lebih dikenal masyarakat secara umum macam saya. 

Agak jauh dari rumah saya, di desa sebelah terpampang baliho besar. Kali ini sang calon adalah perempuan. Sama seperti baliho pertama, ia tidak memiliki gelar akademik apa pun, di belakang namanya hanya tertulis "istri kepala desa."

Saya sendiri tidak tahu sosok kepala desa itu karena cukup jauh tapi masih satu kecamatan dan satu dapil. Tapi, desa tersebut cukup terkenal karena anak-anak di desa saya banyak yang sekolah di sana. 

Dari dua baliho tersebut dapat kita simpulkan jika pamor seorang bapak atau suami dijadikan senjata untuk mengerek popularitas, setidaknya di ranah desa. 

Jujur, saya tidak tahu keduanya apakah pernah menjadi kader partai atau tidak. Yang jelas, kedua calon di atas sama-sama memanfaatkan kekuasaan kecil yang ada di belakangnya untuk mentas di pemilu 2024.

Popularitas sebagai anak kades atau istri kades menjadi modal cukup penting dan mungkin itulah alasan partai mengusung keduanya. 

Nepotisme atau dinasti politik?

Di kancah nasional, hal serupa terjadi untuk beberapa dapil atau partai. Tentu jika kita telisik lebih lanjut hal itu erat dengan nepotisme dan dinasti politik. 

Salah satunya lingkaran kelurga Ratu Atut Chosiyah eks Gubernur Banten. Adde Rosi Khoerunissa, istri dari anak Ratu Atut yang juga mantan Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy. Adde maju lewat Partai Golkar dari Dapil Banten I.

Selain Adde, mantan Wali Kota Tangerang Selatan yang juga istri dari Tubagus Chaeri Wardhana (adik Atut) Airin Rachmi Diani juga maju di Banten III lewat Partai Golkar.

Tidak lupa, pasangan suami istri mencoba peruntungan maju ke parlemen. Mantan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan maju di dapil Jabar II. Sementara istrinya, Netty Heryawam maju di dapil Jabar VII. Keduanya maju melalui PKS. 

Pasangan suami istri lain yang maju adalah Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani dan istrinya, Himmatul Aliyah. Muzani maju sebagai petahana di Dapil Lampung 1, sementara istrinya maju di Dapil DKI II.

Sementara itu, publik dibuat heboh tak kala keluarga besar Harry Tanoesoedibjo ikut dalam Pileg melalui Perindo. Harry maju di dapil III Banten sementara istrinya Liliana Tonoesoedibjo maju di dapil Jakarta II. 

Sedangkan lima anaknya maju di dapil yang berbeda. Angela yang juga Wamenparekraf maju di Dapil Jawa Timur I, Valencia maju lewat Dapil Jakarta III, Jessica maju lewat dapil NTT II, Clarissa maju lewat Jabar I, dan Warren maju lewat Jawa Tengah I.

Lalu, mengapa praktik kekerabatan dan popularitas begitu tren di pemilu 2024 yang terkesan sedang membangun dinasti politik?

Sebagian menilai jika hal tersebut tidak tepat disebut dinasti politik. Hal itu karena dinasti politik erat dengan penyelewengan kekuasaan di mana anggota keluarga terdekat memegang jabatan yang sama dalam waktu lama. 

Sementara itu, dalam pemilu tidak semua calon akan menang karena dipilih langsung oleh masyarakat. Selain itu, setiap orang memiliki hak politik baik memilih atau dipilih. Jadi, secara aturan sah-sah saja. 

Namun, yang perlu kita krtitisi adalah metode partai politik dalam merekrut caleg yang terkesan nepotisme dan mengesampingkan meritokrasi. 

Biasanya, pejabat publik merangkap sebagai elit partai sering menempatkan kerabat di partai atau pemerintahan. Akibatnya, kerabat tersebut dikenal secara politik, tentu itu penting karena popularitas menjadi modal utama. 

Itu sebabnya, apa yang saya temui di jalan berupa baliho atau aji mumpung elit partai yang ramai-ramai nyaleg karena telah memiliki modal popularitas secara politis. 

Tentunya partai politik lebih memilih sikap instan tersebut daripada menyodorkan kadernya sendiri. Hal sama juga berlaku bagi artis yang nyaleg. Mereka memiliki modal yang kuat, yaitu popularitas. 

Tapi, praktik tersebut jelas merugikan kader lain yang tidak memiliki modal popularitas atau uang. Kenyataannya, banyak dari mereka yang populer tidak pernah ikut atau menjadi kader partai. 

Sementara itu, kader partai yang tidak memiliki koneksi seluas itu akan tersisih. Akibatnya, akses bagi kader-kader ini tertutup karena praktik nepotisme yang ujung-ujungnya memonopoli. 

Orang-orang yang berkopetensi tersisih oleh praktik nepotisme. Di sinilah pudarnya meritokrasi itu. Kemampuan individu tidak lagi menjadi faktor penentu, tapi ditentukan oleh kekerabatan dan popularitas.

Pada akhirnya, partai politik yang melakukan hal tersebut akan menyumbat salah satu fungsinya yaitu kaderisasi. Padahal, dengan kaderisasi akan tercipta sosok pemimpin di masa depan baik itu di internal partai atau nasional. 

Gagalnya kaderisasi akan membuat partai sulit mengusung pemimpin baik di daerah mau pun nasional. Maka, pilihan praktisnya adalah mereka yang populer atau yang dekat dengan sanak famili. 

Hal ini bisa kita lihat beberapa partai kerap mengusung kerabat atau artis. Artinya, tidak ada sosok kader tulen partai yang muncul baik dalam kepemimpinan daerah maupun nasional. 

Padahal, untuk bisa satu haluan dengan partai, maka calon pemimpin tersebut harus ditelurkan melalui kaderasasi.

Munculnya politik kekerabatan jelas menyisihkan mereka yang benar-benar memulai karir politiknya dari nol. Bisa jadi, orang-orang yang terisisih tersebut memiliki kapasitas jauh mumpuni dari mereka yang memiliki koneksi dengan kerabat dekat. 

Praktiks, dengan adanya praktik ini maka kemampuan individu sudah tidak berguna karena kalah melawan sistem yang telah rusak, yaitu nepotisme yang ujung-ujungnya memonopoli. 

Tentu kita harus belajar, dari sekian kasus dinasti politik, akan ada konflik kepentingan di dalamnya, salah satunya korupsi yang masif. Kasus korupsi dinasti Atut seharusnya menjadi tamparan agar kejadian serupa tidak terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun