Pemilu 2024 tinggal beberapa bulan lagi. Sejumlah kontestan mulai dari capres hingga caleg sudah bergerak mencari simpati masyarakat. Kampanye dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari media sosial hingga konvensional seperti baliho.Â
Kampanye merupakan sarana bagai peserta pemilu untuk mendapat simpati pemilih. Meski begitu, ada beberapa tempat yang disakralkan untuk kampanye salah satunya instansi pendidikan.Â
Akan tetapi, MK menganulir kesakrakalan tersebut melalui Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 280 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.Â
Pasal 280 ayat (1) huruf h mengatur bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat pendidikan, dan tempat ibadah.Â
Sementara itu, dalam penjelasannya fasilitas pemerintah, tempat pendidikan, dan tempat ibadah dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Dalam pertimbangan putusan itu, MK menilai ada ambiguitas antara bunyi Pasal 280 ayat 1 huruf h dengan penjelasannya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.Â
Penjelasan Pasal 280 ayat 1 berisi norma pengecualian, sehingga MK menilai perlu dimasukkan ke dalam batang tubuh atau norma pokok UU Pemilu. Hal itu karena tidak sesuai dengan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan.Â
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan jika penjelasan adalah sarana untuk menjelaskan norma dalam batang tubuh yang tidak boleh mengakibatkan ketidakjelasan dengan norma tersebut.Â
Pro kontra
Putusan MK tersebut mendapat sorotan khususnya dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Hal itu karena secara teknis akan sulit karena mengganggu proses belajar.
Sekolah idealnya harus bersih dari politik. KPAI menyayangkan putusan MK tersebut karena berpotensi melanggar hak anak. KPAI khawatir jika nantinya akan dieksploitasi untuk kepentingan politik praktis.Â
Apalagi, jika konten kampanye memang tidak sesuai dengan konsumsi anak. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juga menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
Di luar itu, kampanye di instansi pendidikan rawan menimbulkan polarisasi terutama bagi mereka yang akan menjadi pemilih pemula. Pemilih pemula cukup banyak sehingga bisa menjadi tabungan suara bagi peserta pemilu.Â
Hal itu saya rasakan sendiri saat SMA dulu. Lingkaran pertemanan saya "rusak" karena berbeda pilihan terkait calon presiden yang saat itu hanya ada dua calon. Padahal, saat itu tidak ada kampanye sama sekali, tapi murni soal obrolan anak SMA.Â
Apalagi, jika hanya mengundang salah satu calon. Maka, polarisasi politik akan terjadi terutama bagi pemilih pemula yang masih bisa "dikibulin."
Untuk itu, MK perlu memberi batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan tempat pendidikan itu. Apakah mencakup SD, SMP, SMA, atau perguruan tinggi?Â
Toh jika memang harus, maka yang paling tepat adalah perguruan tinggi. Bagi saya, perguruan tinggi menjadi tempat yang pas untuk hal ini karena mahasiswa tengah berada dalam posisi kritis.Â
Apalagi di Amerika Serikat debat capres dilakukan di kampus karena fasilitas yang memang lengkap. Selain itu, kampus adalah arena yang pas untuk menguji intelektual peserta pemilu.Â
Hal itu senada apa yang disampaikan oleh Ketua BEM UI Malik Sadek Huang yang ingin mengundang capres ke kampusnya untuk dikuliti. Jika yang dimaksud dengan putusan MK tersebut terbatas pada perguruan tinggi, bagi saya tidak masalah.Â
Akan tetapi, jika termasuk pula SMA jelas tidak tepat. Anak SMA yang akan menjadi pemilih pemula rawan dipolitisasi dan dimobilisasi. Jadi, MK harus jelas memberikan batasan terkait ini.Â
Atutan turunan
Pascaputusan MK tersebut, maka baik Bawaslu atau KPU harus membuat aturan turunan terkait teknisnya. KPU memang sudah memiliki aturan terkait itu yang termuat dalam Peraturan KPU Nomor 15 tahun 2023.
Akan tetapi, dalam aturan itu belum diatur secara jelas terkait prosedur kampanye di fasilitas pemerintah atau pendidikan. Untuk itu, KPU harus segera merevisi aturan itu.Â
KPU harus terbuka terkait revisi ini dengan melibatkan banyak elemen seperti akademisi, Kemendikbud, Kemendagri, hingga mahasiswa. Artinya KPU harus terbuka dan membuka partisipasi yang luas.Â
Selain itu, dalam aturan tersebut harus mengutamakan asas adil, berimbang, dan memberikan kesempatan yang sama pada semua calon. Jangan sampai ada penolakan pada calon-calon tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik.
Dalam aturan tersebut, KPU juga harus tegas dalam mengatur izin imbas putusan MK tersebut. KPU juga harus mengatur jenis kampanye apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.Â
Lebih idealnya, kampanye yang diatur adalah debat kandidat. Debat tidak hanya selalu dua arah. Tapi, mahasiswa pun ikut terlibat sehingga terjadi dialog yang dinamis.Â
Dengan demikian, kampus adalah tempat untuk menguji ide dan visi capres. Jadi, KPU harus lebih detail menerjamahkan putusan MK tersebut terkait jenis kampanye, tempat, dan lainnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H