Setiap tanggal 16 Agustus atau menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ada satu konvensi ketatanegaraan yang terus dilakukan hingga saat ini, yaitu pidato kenegaraan presiden.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Presiden Joko Widodo selalu memakai pakaian adat. Kali ini, Jokowi memakai pakaian adat dari Provinsi Maluku. Banyak hal yang dibahas dalam pidato tersebut.Â
Salah satunya Jokowi berbicara soal politik karena pemilu 2024 kian dekat. Jokowi mengaku partai politik dan politisi kerap menunggu arahan darinya. Bahkan, Jokowi disebut sebagai Pak Lurah.Â
Dalam kesempatan itu, Jokowi menyebut dirinya tidak memiliki kewenangan untuk menentukan capres atau cawapres karena bukan ketua partai.Â
Jokowi pun mengaku kerap menemukan foto dirinya yang disandingkan dengan capres tertentu.Â
Dalam pidato tersebut, Jokowi berbicara mengenai bonus demografi Indonesia yang besar. Pada tahun 2045 diyakini akan menjadi masa-masa emas bagi Indonesia.Â
Dari sisi lingkungan, Jokowi membahas soal energi baru terbarukan (EBT) melalui hilirisasi. Jokowi meminta agar hilirisasi meminimilasir dampak lingkungan.Â
Di luar itu, Jokowi sedikit curhat jika dirinya kerap diejek dengan perkataan yang tidak pantas. Meskipun menganut demokrasi, tapi adat ketimuran dan sopan santun tetap harus dikedepankan.Â
Jokowi bahkan menyebut hal itu sebagai "polusi budaya" yang mana telah mencoreng nilai luhur bangsa Indonesia.Â
Sayangnya, meski menyinggung soal "polusi", Jokowi sama sekali tidak berbicara polusi udara. Padahal kualitas udara di Jakarta kian mengkhawatirkan.
Anomali
Aneh rasanya Jokowi tidak menyinggung masalah lingkungan. Padahal kondisi udara Jakarta menjadi sorotan karena buruk. Bahkan, Jokowi mengalami batuk hingga empat minggu karena kondisi tersebut.Â
Di media sosial, banyak yang membandingkan kualitas udara Jakarta dari tahun ke tahun. Tahun ini, kualitas udara Jakarta begitu buruk. Bahkan bisa dilihat secara kasat mata.Â
Berdasarkan data yang dihimpun melalui AQI US, indeks udara Jakarta atau Air Quality Index hari ini, tepatnya pukul 08.00 WIB tercatat 155 atau kategori tidak sehat. Sungguh ironi, di tengah perayaan HUT RI kualitas udara tetap buruk.Â
Tahun 2021, bisa disebut kualitas udara Jakarta baik karena tidak pernah menyentuh indeks 150 atau tidak sehat. Pada tahun itu, kualitas udara di Jakarta masuk kategori baik.Â
Tentu pada tahun 2021 Indonesia masih berjuang melawan covid-19. Kebijakan seperti PPKM hingga WFH membuat penggunaan transportasi berkurang. Sehingga kualitas udara membaik.Â
Jika berkaca pada tahun tersebut, apa benar jika transportasi menjadi satu-satunya faktor yang membuat kualitas udara Jakarta buruk? Tentu tidak. Itu hanya salah satunya saja.Â
Menurut peneliti BRIN, musim kemarau dan juga El Nino turut menjadi penyebab kualitas udara di Jakarta menjadi buruk. Di Kalimantan terus terjadi kebakaran hutan yang membuat warga sekitar menghirup udara kotor.Â
Meski begitu, terlalu naif jika menyalahkan alam. Saya percaya jika kita tidak merusak alam, maka bencana tidak akan datang. Pun begitu sebaliknya.Â
Faktor lain yang membuat kualitas udara buruk adalah sebaran 16 PLTU berbasis batu bara di sekitar Jakarta. Di Banten terdapat 10 PLTU dan di Jawa Barat terdapat enam PLTU.Â
Dihimpun dari Greenpeace, pembakaran batu bara menjadi faktor di balik buruknya kualitas udara Jakarta. Bahkan, sebelum digunakan pun batu bara sudah menjadi penyebab polusi udara.Â
Proses peledakan dan penambangan menghasilkan mineral halus yang tercampur dengan udara kemudian dihirup oleh masyarakat. Selain itu, untuk mendapatkan batu bara habitat asli satwa liar pun terancam.Â
Pada tahun 2022, warga sebenarnya menang atas gugatan PMH melawan pemerintah dari tingkat pertama hingga banding. Tergugat, dalam hal ini Presiden Joko Widodo wajib memperbaiki kualitas udara Jakarta.Â
Alih-alih melaksanakan putusan, pemerintah justru melawan dengan melakukan kasasi di MA. Sudah 8 bulan, proses kasasi di MA masih berjalan.Â
Selain itu, Pj Gubernur Jakarta, Heru Budi Hartono terlihat tidak serius. Hal itu karena sempat berkelakar karena ia akan meniupnya. Tentu hal itu tidak etis karena masalah polusi udara bukan masalah remeh.Â
Hal itu karena buruknya udara membuat kesehatan masyarakat terganggu. Apalagi, Jokowi sudah merasakan sendiri akibatnya. Padahal, lingkungan yang baik dan sehat adalah salah satu hak asasi yang diatur dalam UUD 1945.
Jika pemerintah abai terkait lingkungan dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, maka jelas pemerintah telah mengurangi hak asasi warga, yaitu jaminan untuk mendapatkan lingkungan yang sehat.Â
Belajar dari China
China pernah mengalami masalah sama soal udara kotor. Meski begitu, dalam kurun waktu 7 tahun dari 2013-2020, China mampu menekannya hingga 40 persen. Tentu apa yang dilakukan oleh China terbilang cepat.Â
Amerika Serikat butuh waktu hingga tiga dekade untuk menurunkan jumlah polusi yang sama.Â
Pada tahun itu, China mencatat rata-rata 52,4 mikrogram (µg) per meter kubik (m3) partikel polutan PM2,5, sepuluh kali lebih banyak dari batas yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hari ini.
Lalu, apa yang dilakukan China hingga bisa menekan polusi udara secara siginifikan?Â
Musuh utama polusi udara di China adalah batu bara. Pemerintah melarang pembangkit listrik berbahan batu baru hampir di seluruh wilayah yang tercemar polusi udara.Â
Bagi pembangkit listrik yang sudah berdiri, pemerintah China memaksa agar mengurangi emisi atau beralih lada energi lain yang memanfaatkan gas alam.Â
Pada tahun 2017, sebanyak 27 tambang batu bara di Shanxi ditutup. Padahal, Shanxi menjadi produsen batu bara terbesar di China. Untuk mengimbanginya, pemerintah China beralih pada energi terbarukan.
Sama seperti di China, salah satu faktor yang membuat polusi udara di Jakarta adalah PLTU berbahan bakar batu bara. Sayangnya, pemerintah seakan tidak serius menangani masalah ini.Â
Banyak aktivis lingkungan yang mengkritik UU Minerba karena dinilai hanya menguntungkan korporasi tanpa melihat dampak lingkungan.
Tidak disinggungnya polusi udara dalam pidato kenegaraan seolah-olah ingin mengatakan jika "kondisi baik-baik saja" seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal, dampaknya terasa bagi warga. Tak sedikit warga yang terkena ISPA.Â
Kebijakan China yang lainnya adalah dengan mengurangi penggunaan mobil pribadi. Hal ini bisa dicoba karena di Jakarta setiap orang memiliki setidaknya satu kendaraan bermotor.Â
Meski begitu, rencana ini tidak akan berjalan jika fasilitas publik tidak memadai. Pada akhirnya, masyarakat tetap memakai kendaraan pribadi.
Selain mendorong memakai transportasi publik, pemerintah juga harus mendorong agar warganya senang jalan kaki. Tentu fasilitas trotoar yang nyaman harus diperhitungkan pula.Â
Jika pemerintah hanya bisa menganjurkan tanpa ada perbaikan dari sisi fasilitas, maka akan sulit bagi warga Jakarta untuk kembali merasakan udara segar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H