Jokowi yang ikut cawe-cawe tidak ada hubungannya sama sekali dengan tugasnya baik itu sebagai kepala negara atau kepala pemerintah. Ini murni adalah strategi politiik.Â
Dan Jokowi pun mengakui itu. Publik bahkan diminta memahami bahwa ia adalah seorang politisi. Meski tidak ada aturan yang dilanggar, tapi ada etika yang harus dijaga.Â
Bagi saya, kedudukan etika jauh lebih tinggi dari hukum. Hal itu karena etika adalah bidang ilmu yang melahirkan hukum yang kemudian direalisasikan ke dalam bentuk undang-undang.Â
Seseorang yang etikanya terjaga, ia akan bersikap lurus meski perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan udang-undang. Apalagi, cawe-cawe Jokowi memakai fasilitas negara.Â
Misalnya ketika pertemuan dengan ketua partai koalisi pemerintah. Istana negara yang seharusnya netral dari kepentingan pribadi justru dijadikan fasilitas untuk mencapai kepentingan pragmatis yang dibalut dengan frasa "demi bangsa dan negara."
Tidak ada salahnya jika Jokowi ingin cawe-cawe. Tapi, alangkah lebih baik jika cawe-cawe itu dilakukan selama masa cuti atau ketika jabatannya lepas. Sehingga masyarakat tidak akan bingung karena yang dilakukannya benar-benar perbuatan politisi.
Jika masih menjabat sebagai presiden, maka rasanya tidak etis jika Jokowi masuk terlalu jauh. Meski tidak memakai alat negara seperti TNI atau Polri. Tapi, Jokowi seharusnya tahu, status presiden akan selalu melekat padanya selama masa jabatan itu belum habis.
Jadi, ketika cawe-cawe, maka publik akan melihat Jokowi sebagai seorang presiden bukan sebagai politisi. Sebagai seorang negarawan, Jokowi seharusnya fokus menyelesaikan janji kampanye menjelang jabatannya habis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H