Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Fenomena Artis Nyaleg: Komoditas Politik dan Gagalnya Kaderisasi Partai

16 Mei 2023   13:52 Diperbarui: 17 Mei 2023   03:06 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Ahmad Dhani, Al Ghazali dan El Rumi, resmi bergabung dengan Partai Gerindra, Kamis (27/4/2023) malam. (KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA)

Menjelang pemilu, satu fenomena yang selalu terulang adalah artis nyaleg. Tidak ada yang salah dengan itu karena hak mereka. Akan tetapi, fenomena itu memunculkan satu pertanyaan, bagaimana kualitas kaderisasi partai di Indonesia? 

Putera Ahmad Dhani, Al Ghazali dan El Rumi mengikuti jejak sang ayah. Tidak hanya dalam musik, keduanya ikut terjun ke dunia politik setelah bergabung dengan Gerindra. 

Prabowo Subianto yang bertindak sebagai ketua partai mengumumkan secara langsung di rumahnya di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis 27 April 2023.

Prabowo menyebut Gerindra telah mendapatkan kekuatan anak muda yang siap berjuang. Al dan El merupakan representasi anak milenial yang akan menjadi mayoritas pemilih pada pemilu 2024 nanti. 

Tidak hanya itu, nama-nama artis lain seperti Verrel Bramasta, Uya Kuya, Once Mekel, Denny Cagur, hingga Marcell Siahaan siap bertarung di pileg nanti. 

Fenomena artis yang nyaleg memang bukan hal baru. Beberapa artis bahkan disebut sukses menjadi politikus. Sebut saja Rieke Diah Pitaloka yang kini menjadi politisi PDIP. 

Mundur ke belakang, Krisdayanti juga kini menjadi anggota DPR periode 2019-2024. Eko Patrio, Mulan Jameela adalah contoh artis yang sukses menjadi anggota legislatif. 

Tidak hanya di ranah legislatif, dalam ranah eksekutif seperti pemerintahan daerah beberapa artis sukses menduduki jabatan tersebut. Sebut saja Sahrul Gunawan yang kini menjadi wakil bupati Kabupaten Bandung. 

Artis yang terjun ke partai politik memang bukan hal baru. Namun, pertanyaan dasar yang muncul adalah seberapa besar pengaruh mereka terhadap elektabilitas partai? Apakah mampu mendongkrak atau stagnan?

Di sisi lain, langkah partai politik yang merangkul artis menjadi alarm jika proses kaderisasi partai tidak berjalan baik. Hal itu karena para artis telah memiliki modal yang cukup seperti popularitas hingga ekonomi. 

Komoditas politik 

Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih akan langsung memilih calon legislatif. Berbeda dengan sistem tertutup yang mana pemilih hanya akan memilih partai saja. 

Dengan konsekuensi itu, maka akan ada persaingan bebas antarcalon. Tentu di sini yang diperlukan adalah ongkos politik dan popularitas. Artis, memiliki kedua hal tersebut. 

Bukan rahasia umum jika ongkos untuk nyaleg sangat mahal. Apalagi jika posisi yang diincar adalah kursi DPR. Maka ongkos politik yang dikeluarkan kian mahal. 

Dalam laporan kompas.com, ongkos nyaleg yang dikeluarkan untuk kursi di Senayan bisa mencapai miliaran rupiah. Tenu biaya tersebut digunakan untuk kebutuhan sang caleg mulai dari kampanye hingga serangan fajar di TPS. 

Hal ini tidak bisa dinafikan, penelitian yang dilakukan LIPI menyebut sebanyak 40 persen responden menerima uang dari kontestan pemilu 2019.

Saya sendiri pernah disodori hal serupa ketika pemilu 2019 lalu. Tidak hanya itu, politik uang seperti itu bisa berubah bentuk. Antinya, peserta tidak memberi dalam bentuk nominal uang. 

Tapi, bisa dalam bentuk lain seperti sembako hingga wisata religi seperti ziarah. Di daerah saya, menjelang pemilu calon anggota legislatif ramai mendekati tokoh agama dan mereka membawa serta umat pergi ziarah dengan dalih berdoa bersama. 

Hal itu lumrah terjadi. Tentu biaya seperti itu tidak murah. Apalagi untuk kebutuhan kampanye lain seperti spanduk dan lain-lain. Di sisi lain, para artis ini memang kuat secara finansial. 

Tentu untuk ongkos politik yang mahal, para artis ini sanggup menutupinya. Modal kedua adalah popularitas. Nama-nama artis yang hilir mudik di dunia hiburan tentu sudah dikenal masyarakat luas. 

Apalagi jumlah pengikut mereka di media sosial juga banyak. Dengan modal itu, tentu para artis ini bisa diharpkan mendulang suara. Terkhusus untuk para pengikutnya. 

Kedua modal itulah yang menjadi pertimbangan utama dari partai politik. Partai politik bisa dikatakan menghemat energi karena kedua modal dasar tersebut sudah terpenuhi.

Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah tugas partai politik adalah menyediakan pemimpin berkualitas. Bukan hanya memiliki popularitas dan ongkos tinggi, tapi mereka juga harus memiliki kapasitas. 

Kapasitas dalam artian ketika mereka terpilih, mereka mengerti akan tugasnya masing-masing. Di sisi lain, banyak yang menilai jika para artis ini hanya sebatas komoditas politik semata yang hanya menguntungkan partai saja. 

Tentu dengan popularitas artis, maka nama partai pun akan ikut naik dan bisa menaikkan suara di parlemen. Jika demikian, maka sebenarnya mereka hanya alat bagi partai untuk mendulang suara.

Kaderisasi

Salah satu tugas atau fungsi dari partai politik adalah mencetak kader berkualitas. Hal ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang Partai Politik. 

Banyak yang mengatakan jika rekrutmen politik dengan kaderisasi adalah sama. Padahal kedua hal itu berbeda.

Kaderisasi adalah upaya partai politik dalam menyiapkan sosok pemimpin di masa depan melalui pendidikan politik dalam waktu jangka panjang. Sehingga menghasilkan sosok calon pemimpin yang loyal. 

Calon pemimpin tersebut memiliki identitas kepartaian yang kuat. Kaderisasi bertujuan untuk mencetak pemimpin di masa mendatang. Baik itu untuk partai maupun kepentingan nasional. 

Sementara itu, rekrutmen politik adalah kegiatan partai politik yang dikhususkan untuk menarik calon pemimpin yang memiliki sikap dan tujuan sesuai kebutuhan partai saja. 

Dari sini bisa kita lihat jika rekrutmen politik lebih pragmatis. Berbeda dengan kaderisasi yang memiliki tujuan jangka panjang. Sejauh ini, maraknya artis yang nyaleg adalah sebuah rekrutmen politik. 

Partai politik hanya memanfaatkan popularitas mereka sebagai mesin pengerek suara saja. Di sisi lain, dengan mengedepankan kepentingan pragmatis, maka sejatinya partai politik telah melumpuhkan fungsinya yaitu mencetak pemimpin berkualitas. 

Tidak ada yang salah jika partai politik melakukan rekrutmen kepada sejumlah publik figur. Akan tetapi, popularitas saja tidak cukup. Popularitas tidak selalu berjalan dengan kapasitas. 

Untuk itu, partai politik harus memiliki standar tinggi bagi siapa saja yang ingin nyaleg. Tentu adanya standar tersebut adalah sebagi penyaring agar partai politik bisa memberikan opsi calon pemimpin yang berkualitas. 

Tidak hanya itu, memanfaatkan popularitas dan modal yang kuat justru bisa merusak potensi seseorang yang memang cakap di sana. Saya sendiri memiliki kawan yang terjun ke partai politik sejak lama. 

Tapi, ia tidak kunjung juga nyaleg bahkan untuk tingkat daerah. Padahal kawan saya adalah kader yang memulai dari nol. Tapi, kalah dengan orang-orang yang memiliki popularitas tinggi dan modal kuat. 

Jika proses rekrutmen politik terus seperti ini, maka jangan heran jika satu partai tidak akan memiliki kader yang kuat untuk jadi pemimpin di masa mendatang. 

Bisa kita saksikan dalam kontestasi politik nasional beberapa partai politik justru mencalonkan kader lain. Atau mencalonkan mereka yang tidak terafiliasi dengan partai manapun. 

Hal itu menunjukkan bahwa ada yang salah dalam proses kaderisasi partai. Jika terus demikian, maka kualitas pemimpin dan demokrasi kita akan mundur karena pemilih hanya akan memilih siapa yang paling tenar dibanding siapa yang memiliki kapasitas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun