Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih akan langsung memilih calon legislatif. Berbeda dengan sistem tertutup yang mana pemilih hanya akan memilih partai saja.Â
Dengan konsekuensi itu, maka akan ada persaingan bebas antarcalon. Tentu di sini yang diperlukan adalah ongkos politik dan popularitas. Artis, memiliki kedua hal tersebut.Â
Bukan rahasia umum jika ongkos untuk nyaleg sangat mahal. Apalagi jika posisi yang diincar adalah kursi DPR. Maka ongkos politik yang dikeluarkan kian mahal.Â
Dalam laporan kompas.com, ongkos nyaleg yang dikeluarkan untuk kursi di Senayan bisa mencapai miliaran rupiah. Tenu biaya tersebut digunakan untuk kebutuhan sang caleg mulai dari kampanye hingga serangan fajar di TPS.Â
Hal ini tidak bisa dinafikan, penelitian yang dilakukan LIPI menyebut sebanyak 40 persen responden menerima uang dari kontestan pemilu 2019.
Saya sendiri pernah disodori hal serupa ketika pemilu 2019 lalu. Tidak hanya itu, politik uang seperti itu bisa berubah bentuk. Antinya, peserta tidak memberi dalam bentuk nominal uang.Â
Tapi, bisa dalam bentuk lain seperti sembako hingga wisata religi seperti ziarah. Di daerah saya, menjelang pemilu calon anggota legislatif ramai mendekati tokoh agama dan mereka membawa serta umat pergi ziarah dengan dalih berdoa bersama.Â
Hal itu lumrah terjadi. Tentu biaya seperti itu tidak murah. Apalagi untuk kebutuhan kampanye lain seperti spanduk dan lain-lain. Di sisi lain, para artis ini memang kuat secara finansial.Â
Tentu untuk ongkos politik yang mahal, para artis ini sanggup menutupinya. Modal kedua adalah popularitas. Nama-nama artis yang hilir mudik di dunia hiburan tentu sudah dikenal masyarakat luas.Â
Apalagi jumlah pengikut mereka di media sosial juga banyak. Dengan modal itu, tentu para artis ini bisa diharpkan mendulang suara. Terkhusus untuk para pengikutnya.Â
Kedua modal itulah yang menjadi pertimbangan utama dari partai politik. Partai politik bisa dikatakan menghemat energi karena kedua modal dasar tersebut sudah terpenuhi.