Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Pentingnya Asas Ultimum Remedium dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

1 Februari 2023   18:32 Diperbarui: 8 Februari 2023   15:13 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. | Foto: Shutterstock via KOMPAS.COM

Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa pada makhluknya. Untuk itu, orang tua harus menjaga pertumbuhan anak agar menjadi generasi emas di masa mendatang. 

Anak merupakan aset bangsa, di tangan merekalah masa depan bangsa ditentukan. Oleh sebab itu, sebagai salah satu aset yang menentukan masa depan negara, anak harus mendapatkan pelindungan dari negara.

Pelindungan negara bisa dilihat dari kebijakan atau produk hukum yang berpihak pada anak. Untuk menekan perkawinan anak misalnya, undang-undang memberlakukan batas minimal usia menikah. 

Sebelumnya di dalam UU Perkawinan disebutkan jika batas menikah untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Dalam aturan terbaru, baik laki-laki dan perempuan harus berusia 19 tahun untuk bisa menikah. 

Begitu juga dengan pembatasan usia dalam beberapa undang-undang. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum mencapai 18 tahun.

Begitu juga dalam hukum perdata, dalam Pasal 1320 KUHPerdata, salah satu syarat sah perjanjian adalah cakap. Cakap di sini adalah dewasa, batas usia itu di atas 18 tahun. 

Artinya dalam hukum perdata, jika anak di bawah usia 18 tahun melakukan perbuatan hukum seperti perikatan dapat dibatalkan karena anak tidak cakap hukum. 

Begitu juga dalam ranah demokrasi. Untuk bisa mendapatkan hak memilih, maka anak harus berusia 18 tahun. Di usia itulah anak sudah dikatakan dewasa dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatan hukumnya sendiri. 

Dalam perkembangannya, usia di bawah 18 tahun memang masih dalam fase mencari jati diri. Dalam rentan usia itu, rasa penasaran anak sangat tinggi tanpa dibarengi kematangan berpikir. 

Dalam ranah hukum pidana, usia di bawah umur menjadi salah satu alasan pemaaf. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus "kesalahan" dalam tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP. 

Artinya, jika mengacu pada Pasal 44, setiap anak yang melakukan tindak pidana tidak bisa dipidana karena tidak terdapat kesalahan padanya. Untuk bisa dipidana, maka harus ada kesahalan, jadi jika tidak ada kesalahan maka tidak bisa dipidana. 

Akan tetapi, dalam perkembangannya anak juga bisa menjadi pelaku tindak pidana. Inilah problemnya. Untuk menjawab hal itu, maka lahirlah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

SPPA hadir untuk menyelesaikan masalah itu. Perlu digarisbawahi, peradilan anak tidak sama dengan orang dewasa karena akan berpengaruh pada psikologi anak. Jadi, peradilan anak tetap harus ramah pada anak.   

Asas ultimum remedium

Faktanya anak-anak memang bisa menjadi pelaku tindak pidana. Ini sudah tidak bisa dikategorikan lagi sebagai kenakalan remaja karena telah melanggar undang-undang. 

Apabila ada anak yang menjadi pelaku tindak pidana atau bahasa UU SPPA adalah anak berkonlfik dengan hukum, maka ada beberapa tahapan dalam menyelesaikan perkara tersebut.

Perlu digarisbawahi, memenjarakan anak adalah bukan poin utama dalam UU SPPA. Mengapa demikian? Titik utama dalam UU SPPA adalah pembinaan yang mana akan meningkatkan kesadaran pada anak.   

Lalu, bagaimana UU SPPA mengatur ketentuan ini? Di dalam Pasal 69 diatur mengenai dua hal, anak yang berkonflik dengan hukum dapat dijatuhi pidana atau tindakan. Pidana yang dimaksud jelas menurut UU SPPA. 

Di dalam Pasal 71, pidana pokok terhadap anak terdiri dari: 1) peringatan, 2) pidana dengan syarat yang meliputi pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan, 3) pelatihan kerja, 4) pembinaan dalam lembaga, 5) penjara. 

Kemudian pidana tambahan terdiri dari  perampasan  keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau pemenuhan kewajiban adat.

Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

Lalu, bagaimana dengan tindakan? Tindakan hanya dapat dikenakan pada anak yang belum berusia 14 tahun. 

Tindakan diatur dalam Pasal 82 yang terdiri dari pengembalian kepada orang tua/Wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa; perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.

Nah, perlu digarisbawahi sebelum memakai ketentuan Pasal 71 di atas maka diversi dan restorative justice harus diupayakan lebih dulu. Mengapa demikian? 

Hal itu karena guna mencapai kesepakatan antara korban dan pelaku yang mana keduanya masih anak-anak. Upaya ini jauh lebih humanis karena anak adalah salah satu konsen dalam HAM yang berlaku universal.

Adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan UU SPPA adalah konsekuensi dari Indonesia yang menyetujui Convention on the Rights of the Child.

Diversi dan restorative justice adalah salah satu upaya menjaga kemerdekaan anak. Hukuman yang diberikan pada anak juga tidak boleh merendahkan martabat anak. 

Mengapa demikian? Kembali lagi pada poin di awal, anak adalah aset yang berharga. Jika diversi dan restorative justice tidak bisa dicapai, maka tahap selanjutnya adalah ketentuan Pasal 71 tadi.

Di dalam Pasal 71, pidana pokok berupa penjara ditaruh terakhir? Mengapa demikian? Hal itu sesuai dengan asas ultimum remedium yang berarti pidana adalah upaya terakhir. 

Asas ultimatum remedium juga disinggung dalam Pasal 2 UU SPPA. Mengapa penjara menjadi upaya terakhir? Penjara jelas tidak ramah untuk anak. 

Saya memiliki pengalaman ketika berkunjung ke lapas Nusakambangan tahun 2020 lalu. Ketika masuk ke lapas, saya merasa sumpek. Orang-orang di sana juga terlihat stress karena dikungkung dipenjara.

Itu orang dewasa yang sudah matang secara pikiran dan mental. Bagaimana dengan anak? Seperti apa jadinya anak saat keluar dari penjara? Alasan psikologis dan mental inilah yang membuat penjara sebagai opsi terakhir. 

Untuk itu, pidana pokok pada anak tidak sama dengan orang dewasa. Maka sejatinya anak yang berkonflik dengan hukum perlu dibina. Inilah esensi hukuman yang tepat bagi anak, bukan dengan cara memenjarakan seperti orang dewasa. 

Kesuksesan penegakkan hukum sering diukur dengan banyaknya memenjarakan. Padahal tidak demikian, esensi dari penegakkan hukum tidak diukur dari seberapa banyak orang masuk bui. Tapi, lebih baik mencegahnya. Begitu juga dengan anak.

Jika sudah terlanjur, kewajiban kita sebagai orang dewasa adalah membina. Membina sangat penting agar dikemudian hari anak tidak melakukan hal yang sama. 

Penjara tanpa adanya pembinaan tidak akan menjamin jika seseorang tidak akan mengulangi tindak pidana. Esensi dari pemidanaan adalah upaya agar pelaku tindak pidana tidak mengulanginya lagi. 

Jadi, memenjarakan anak jelas tidak tepat karena beberapa alasan seperti psikologis anak. Pembinaan di lembaga yang tepat adalah hukuman yang tepat bagi anak. 

Toh jika sudah mentok dan memang harus dipenjara, maka ketentuannya tidak sama dengan orang dewasa sebagamana diatur dalam Pasal 82 UU SPPA. Penjara hanya berlaku jika perbuatan bisa membahyakan masyarakat. 

Kemudian penjara dijatuhkan dengan ketentuan 1/2 dari ancaman penjara maksimum bagi orang dewasa. Jika perbuatan yang dilanggar diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah paling lama 10 tahun. 

Peran orang tua

Tentu kita berpikir, mengapa ada anak yang bisa melakukan tindak pidana? Apakah mereka tidak tahu? Jelas! Untuk itu, peran orang tua sangat penting menjadi benteng pertama bagi anak untuk mengetahui apa saja yang dilarang. 

Tentu ada baiknya mengingat kasus Dul yang menyebabkan orang lain meninggal karena kelalaiannya dalam berkendara. Dalam praktiknya, Dul dikenakan tindakan yakni dikembalikan pada orang tua. 

Dul tidak salah, yang salah adalah orang tuanya mengapa ia diberi akses untuk menyetir mobil di bawah umur. 

Jadi, terlalu sempit jika SPPA hanya dilihat dari diversi atau restorative justice saja. Bagi saya, tidak ada yang perlu direvisi dari UU SPPA karena tahapannya sudah benar dengan memerhatikan hak anak. 

Yang perlu kita perbaiki adalah pembinaan pada anak. Peran itu ada pada keluarga dan lingkungan pendidikan. Memenjarakan anak tidak menyelesaikan akar masalah. Akar masalahnya adalah pembinaan di lingkungan keluarga dan sekolah. 

Anak yang menjadi pelaku tindak pidana bisa jadi karena minimnya pengawasan dari orang tua. Sekali lagi, jangan samakan anak dengan orang dewasa. Meski orang adalah subjek hukum, tapi tetap untuk menjadi subjek hukum adalah mereka yang sudah cakap. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun