Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa pada makhluknya. Untuk itu, orang tua harus menjaga pertumbuhan anak agar menjadi generasi emas di masa mendatang.Â
Anak merupakan aset bangsa, di tangan merekalah masa depan bangsa ditentukan. Oleh sebab itu, sebagai salah satu aset yang menentukan masa depan negara, anak harus mendapatkan pelindungan dari negara.
Pelindungan negara bisa dilihat dari kebijakan atau produk hukum yang berpihak pada anak. Untuk menekan perkawinan anak misalnya, undang-undang memberlakukan batas minimal usia menikah.Â
Sebelumnya di dalam UU Perkawinan disebutkan jika batas menikah untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Dalam aturan terbaru, baik laki-laki dan perempuan harus berusia 19 tahun untuk bisa menikah.Â
Begitu juga dengan pembatasan usia dalam beberapa undang-undang. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum mencapai 18 tahun.
Begitu juga dalam hukum perdata, dalam Pasal 1320 KUHPerdata, salah satu syarat sah perjanjian adalah cakap. Cakap di sini adalah dewasa, batas usia itu di atas 18 tahun.Â
Artinya dalam hukum perdata, jika anak di bawah usia 18 tahun melakukan perbuatan hukum seperti perikatan dapat dibatalkan karena anak tidak cakap hukum.Â
Begitu juga dalam ranah demokrasi. Untuk bisa mendapatkan hak memilih, maka anak harus berusia 18 tahun. Di usia itulah anak sudah dikatakan dewasa dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatan hukumnya sendiri.Â
Dalam perkembangannya, usia di bawah 18 tahun memang masih dalam fase mencari jati diri. Dalam rentan usia itu, rasa penasaran anak sangat tinggi tanpa dibarengi kematangan berpikir.Â
Dalam ranah hukum pidana, usia di bawah umur menjadi salah satu alasan pemaaf. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus "kesalahan" dalam tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP.Â