Di desa saya, tensi pemilihan kepala desa memang panas. Bahkan pilkades tahun 2018 kemarin dibarengi dengan premanisme. Pertahana akhirnya kalah dengan penantang baru yang memanfaatkan strategi premanisme.Â
Sama seperti kontestasi dalam pemilu, salah satu pihak memakai cara klasik yakni politik uang. Tak hanya itu, para "pion" yang dipakai adalah preman yang menebar ketakukan.Â
Jadi, suara masyarakat terbelah menjadi dua kubu. Pertahana dan penantang. Salah satu alasan yang membuat tensi pilkades tinggi karena ketakukan dan ancaman dari para preman.Â
Tentu di balik itu ada deal-deal-an lebih dulu. Sehingga orang-orang yang hanya mengandalkan otot dan penebar ketakutan mau menjadi pion.Â
Bayangkan saja, hampir tiap malam rumah tokoh masyarakat didatangi oleh preman untuk memilih jagoannya. Jika tokoh masyarakat sudah terikat, apalagi masyarakat biasa.Â
Tiap malam terasa mencekam karena di perbatasan desa dibangun posko untuk mengawasi pergerakan pihak lawan. Saya pun sempat dicurigai sebagai pion lawan karena jarang di rumah.Â
Ketika pulang malam hari, saya ditanyai. Tapi ketika menunjukkan KTP dan orang desa asli di sini, mereka pun percaya. Tensinya sampai setinggi itu.Â
Bahkan saya yang saat itu menjadi panitia pemilihan tak lepas mendapat intimidasi. Di TPS, pion-pion yang mengandalkan otot itu sudah berjaga. Bahkan mereka mabuk.Â
Celakanya, segala cara dihalalkan sampai surat suara orang lain dipakai oleh bukan pemiliknya, tentu dengan bayaran. Saya yang saat itu ingin mencegah perbuatan curang tersebut diperingatkan oleh panitia lain agar diam.Â
Alasannya karena preman-preman itu telah mengawasi dan jika saya hentikan, sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi. Pada akhirnya, strategi ini berhasil meski setelah pilkades banyak warga yang mengatakan jika sebenarnya mereka takut.
Untuk itu mereka memilih pihak yang memakai strategi premanisme itu. Tentu akibatnya adalah orang-orang yang menjadi pion itu mendapat sedikit potongan kue dan duduk di kantor desa.Â