Dalam property porn, setidaknya yang dieksploitasi ada dua hal. Pertama kondisi kemiskinan orang lain dan kedua kondisi empati calon penderma.Â
Semakin kemiskinan itu dieskploitasi, maka semakin tinggi juga empati orang lain untuk berderma. Dalam konteks ini, meski dibalut dengan kemasan konten kreator, tapi pada prinsipnya mereka tetap mengemis.Â
Jika kita telisik lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin mereka yang melakukan itu terikat satu agensi yang memang sengaja melakukan itu untuk mengeksploitasi rasa simpati orang lain.Â
Untuk itu, model yang dipakai adalah ibu-ibu yang renta. Hal itu seolah memberi tahu bahwa "model" itu memang benar-benar butuh uang sehingga mereka mau melakukan apa pun demi mendapatkan gift.Â
Padahal, bukan tidak mungkin di balik itu ada sebuah agensi khusus yang mana para model itu hanya dijadikan alat untuk mencari cuan dengan menjual kesedihan.Â
Sementara keuntungan gift itu sendiri tidak semuanya milik si model. Tapi, para model itu tak ubahnya pekerja yang bernaung di bawah satu agensi khusus.Â
Artinya jika memang demikian, para model itu memang terdesak kebutuhan ekonomi tapi mereka sebenarnya bukan konten kreator sesungguhnya.
Konten kreator yang sebenarnya adalah para agensi yang menaunginya. Mungkin saja ketika direkrut, agensi menawarkan satu pekerjaan menjadi konten kreator.Â
Padahal sejatinya kata tersebut hanya pembungkus manis. Pekerjaan sebenarnya adalah mengemis. Lalu apa kontennya? Jelas konten kemiskinan.Â
Konten kreator tersebut tahu jika orang Indonesia paling mudah dibodohi dengan konten kemiskinan. Bahkan, Indonesia merupakan salah satu negara paling dermawan di dunia.Â
Dengan demikian, fenomena di atas tak ubahnya seperti pengemis di dunia nyata yang bekerja pada satu agensi. Tapi, yang membedakannya adalah media dan usaha mereka diperhalus dengan sebutan konten kreator.Â