Sebagai orang Jawa Barat yang kebetulan berdomisili di pinggiran Kota Bandung, tentu nama Ridwan Kamil yang menjadi trending topic di twitter menarik perhatian saya.Â
Salah satu pemicunya tak lain karena kritik terhadap pembangunan Mesjid Al-Jabbar yang baru saja diresmikan pada Jum'at (31/12/2022) pekan lalu.Â
Saya yang tidak mengerti apa itu arsitek tentu mengapresiasi karya Kang Emil itu. Mesjid tersebut begitu megah, ujar yang pernah ke sana. Meski begitu, bangunan megah yang baru diresmikan itu tak lepas dari kritik.Â
Perlu diketahui, mesjid yang didirikan di daerah Gedebage itu menjadi salah satu jalan yang sibuk. Orang-orang pinggiran kota macam saya tentu melewati jalur itu untuk hilir mudik ke Kota Bandung.
Masalah utama yang selalu dihadapi tak lain adalah macet atau banjir. Ketika mesjid itu diresmikan, betapa macetnya daerah tersebut. Apalagi akses jalan tidak terlalu besar.Â
Inilah sekelumit keluhan sebagian orang terkait Mesjid Al-Jabbar. Bukan berarti anti mesjid, tapi lebih baik jika akses menuju ke sana diperbaiki lebih dulu.Â
Coba bayangkan jika Persib main, maka bagaimana macetnya daerah sana? Apalagi lokasi mesjid dan Stadion GBLA tidak terlalu jauh.Â
Kritik yang disampaikan pengguna jalan adalah mengapa tidak memperbaiki akses lebih dulu? Belum lagi daerah Soekarno-Hatta juga tak kalah macetnya. Jadi, bagi jalur-jalur itu sudah pasti macet.Â
Apalagi setelah mesjid diresmikan yang memang didesain seperti tempat wisata religi. Orang luar kota Bandung tentu akan melewati jalan-jalan di atas.Â
Kritik lainnya adalah penggunaan dana APBD yang mencapai Rp. 1 triliun. Dana tersebut besar dan lebih baik jika dialokasikan pada perbaikan transfortasi publik seperti yang dijanjikan pada awal-awal Kang Emil menjabat Wali Kota.Â
Dana sebesar itu jelas lebih baik dialokasikan pada sektor lain yang sifatnya memberikan manfaat pada warga secara luas. Lalu, apakah salah membangun mesjid memakai dana APBD?Â
Tentu hal ini tidak salah. Apalagi jika ada persetujuan dari DPRD. Akan tetapi, jika 100 persen dari APBD, bagaimana jadinya?
Itulah kritik yang dilakukan oleh netizen. Sayangnya, saya sendiri kurang setuju dengan cara Kang Emil menjawab kritik tersebut.Â
Kang Emil memposting feed di instagram pribadinya terkait kritik masyarakat itu. Kang Emil bahkan nge-tag si pengkritik dan memberikan tangkapan layar kritikan si pengkritik.
Di dalam postingan itu, Kang Emil menjawab jika pembangunan Mesjid Al-Jabbar sudah dilakukan musyawarah lebih dulu mulai dari Musrenbang hingga DPRD Kota/Provinsi.
Dengan kata lain, penggunaan APBD itu sudah sesuai dengan regulasi karena telah mendapatkan persetujuan. Selain itu, dalam pelaksanaannya pajak memang dipungut dari warga dengan latar belakang beragam.Â
Kang Emil melanjutkan jika dalam hukum positif kewenangannya ada pada di penyelenggara negara.Â
Satu kalimat yang saya sayangkan dari unggahan Kang Emil adalah,, "jika akang senang isu transportasi publik dan tidak suka mesjid, silakan saja."
Seolah-olah pengkritiknya dianggap tidak suka mesjid. Padahal apa yang disampaikan adalah terkait dengan penggunaan APBD yang bisa dialokasikan pada sektor lain.Â
Jika mengkritik dianggap sebagai rasa tidak suka, bagaimana orang-orang akan kritis pada pemerintah? Mengkritik kebijakan terkait mesjid bukan berarti tidak suka mesjid.Â
Bagi saya ini adalah kesimpulan yang keliru. Saya pun termasuk orang yang mengkritik karena aspek yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, dalam masalah ini jelas DPRD memiliki peran.Â
Mengapa DPRD dengan mudah meloloskan kebijakan seperti ini? Seperti yang sudah dijelaskan, bukan tidak boleh memakai dana APBD, tapi APBD adalah stimulus, jadi tidak semua biaya ditanggung APBD.Â
Selain itu, dalam melaksanakan program tentu ada skala prioritas. Ukuran prioritas adalah yang berdampak pada masyarakat secara luas dan tentu kemanfaatannya terasa oleh masyarakat.Â
Pertanyaannya adalah apakah Mesjid Al-Jabbar masuk ke dalam skala prioritas itu? Ukurannya apa? Inilah yang menjadi poin dari penggunaan dana APBD tadi.Â
Selain itu, cara Kang Emil menjawab kritik juga bagi saya kurang pas. Kang Emil justru memposting di instagram pribadi dan akibatnya pengkritik diserang oleh pendukung Kang Emil.Â
Apakah pengkritik harus siap dikritik? Tentu saja ya. Tapi lebih elok lagi jika menyamarkan username pengkritik. Media sosial memang bisa dijadikan tempat diskusi, tapi kurang efektif.Â
Akibat dari unggahan itu, bukan tidak mungkin banyak masyarakat yang enggan mengkritik pejabat publik jika cara menjawab kritik seperti itu. Sekali lagi, pengkritik memang siap dikritik.Â
Tapi, jangan memanfaatkan media sosial apalagi netizen yang tidak tahu persoalan sebenarnya seperti apa. Kritik balik itu tentu harus datang dari pejabat publik bukan memanfaatkan power sosial media yang membuat netizen merujak pengkritik.
Bahkan tidak sedikit akun centang biru membela Kang Emil. Bukan berarti membela pengkritik, tapi saya hanya memikirkan efek domino. Jika terus demikian, masih beranikah publik mengkritik pejabat daerahnya sendiri?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H