Pemerintah dan DPR resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang terhitung tanggal 6 Desember 2022.
Salah satu dosen saya menyebut jika Indonesia adalah bangsa tukang copy paste. Hal itu ditujukan pada beberapa aturan peninggalan Belanda yang masih digunakan sampai saat ini. Dengan kata lain, meski sudah merdeka tapi dari sisi hukum kita masih dijajah oleh produk hukum kolonialisme.Â
Argumen tersebut tentu berdasar pada hukum, yaitu mengacu pada Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebut "segala peraturan perundang-undangan masih tetap berlaku sepanjang belum diadakan yang beru menurut undang-undang ini. "
Dengan pasal itulah maka produk hukum peninggalan zaman Belanda digunakan termasuk di dalamnya Wetboek van Strafrecht (KUHP) dan Burgelijk Wetboek (KHUPerdata).Â
Khusus untuk KHUPerdata, untuk buku I dan buku II kini sudah tidak dipakai lagi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.Â
Kondisi copy paste tersebut tidak salah jika dilihat dari sisi historis. Hal itu karena Indonesia benar-benar merdeka pada tahun 1949 di Konferensi Meja Bundar.Â
Artinya dalam kurun waktu tahun 1945-1949 akan ada kekosongan hukum. Untuk mengantisipasi itu, maka Pasal I Aturan Peralihan yang ada di UUD 1945 itu dibuat.Â
Apalagi dalam kurun waktu tersebut Belanda mencoba merebut kembali NKRI dengan melakukan agresi militer. Jadi, setelah merdeka maka tugas pendiri bangsa lainnya adalah mempertahankan kemerdekaan itu sendiri.Â
Jadi dalam kurun waktu mempertahankan kemerdekaan itu, para pendiri bangsa kita jelas tidak memiliki waktu untuk berpikir mengenai aturan hukum (KUHP) yang akan dipakai karena kondisi darurat. Itu sebabnya Pasal I Aturan Peralihan menjadi jalan pintas untuk mengisi kekosongan hukum.Â
Begitu juga dengan UUD 1945 yang awalnya memang dibuat untuk sementara guna memenuhi teori jika negara yang merdeka harus memiliki konstitusi. Maka setelah Indonesia merdeka konstitusi yang menjadi sumber dari aturan hukum pun mengalami banyak dinamika.Â
Setidaknya kita telah mengalami beberapa kali dinamika konstitusi. Mulai dari UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, hingga dektrik presiden 5 Juli 1959 yang intinya memerintahkan kembali pada UUD 1945.
Itulah yang terjadi. Aturan pokoknya saja mengalami banyak dinamika apalagi aturan turunannya termasuk undang-undang lain. Maka jangan salahkan jika KUHP peninggalan Belanda itu terus kita pakai.Â
Dari segi usia dan kemajuan bangsa, sudah sepatutnya kita memiliki KUHP dan KUHPerdata sendiri. Jadi, secara usia kita memang wajib memiliki KUHP sendiri.Â
Akan tetapi, dalam perjalanannya RKUHP yang sudah lintas periode presiden ini tak kunjung usai. Selain itu, penolakan terus terjadi terutama di kalangan masayarakat sipil. Banyak kalangan menilai jika KUHP baru bisa merenggut kebebasan sipil.Â
Pasal bermsalah
Sejak dibahas tahun 2019 lalu, RKHUP mendapat banyak penolakan, terutama untuk beberapa pasal yang bermasalah. Salah satu pasal yang cukup disoroti adalah terkait living law yang terdapat di Pasal 2 ayat 1.
Living law tersebut tak lain adalah hukum adat. Â Mengapa pasal ini bermasalah? Jika kita mengacu pada buku I draf RKHUP tertanggal 30 Novemver 2022 lalu, maka menurut hemat penulis kontradiksi dengan Pasal 1.
Pasal 1 sendiri mengatur tentang asas legalitas yang pada intinya suatu perbuatan tidak akan dipidana tanpa ada aturan terlebih dahulu. Jadi, untuk bisa dikatakan suatu tindak pidana maka harus ada aturan yang menyertainya.
Tujuan awal dari asas legalitas ini tak lain untuk memberi kepatian hukum. Jika suatu tindakan tidak diatur secara jelas, tentu tidak semua orang akan tahu jika tindakan itu dilarang atau tidak. Beda hal jika tindakan tersebut dibukukan dalam bentuk undang-undang.Â
Sementara itu, living law sendiri tidak dikodifikasi (dibukukan). Jadi, masyarakat tidak tahu apakah perbuatan tertentu bertentangan dengan hukum adat atau tidak. Inilah yang menjadi masalah dan jauh dari kepastian hukum.Â
Itu sebabnya jika pasal living law ini begitu kontradiksi dengan asas legalitas yang memberi kepastian hukum. Memang dalam praktiknya hukum adat sah dan diakui.
Akan tetapi jika melihat pada penerapan yang ada di KHUP baru dan melibatkan Perda, maka itu akan menghilang kesakralan hukum adat itu sendiri. Selain itu, ketentuan Perda tersebut ditakutkan penafsirannya terlalu luas dan diskriminatif.Â
Kemudian di dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 dikatakan jika living law berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di daerah adat. Hal ini berarti baik bagi masyarakat adat mau pun bukan aturan tersebut berlaku.
Jika masyarakat hukum adat tentu tahu batasan perbuatan mana saja yang berlaku, lain lagi jika masyarakat luar adat yang tentu tidak tahu perbuatan mana saja yang termasuk tindak pidana adat atau bukan. Artinya kepastian hukum itu sendiri jelas tidak ada.Â
Pasal lain yang mendapat sorotan adalah Pasal 218-220 terkait penyerangan harkat martabat presiden dan atau wakil presiden. Tentu frasa yang menjadi masalah adalah "penyerangan harkat dan martabat."
Kemudian melihat penjelasan Pasal 218 disebutkan yang dimaksud menyerang harkat dan martabat adalah perbuatan yang merendahkan atau perbuatan merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah.
Meskipun ada hal pembeda dengan UU ITE karena memberi penjelasan, akan tetapi tetap saja frasa fitnah itu terlalu luas. Definisi fitnah sendiri tidak jelas. Padahal suatu definisi yang baik adalah tidak melebar.Â
Pemerintah sendiri menyiasati agar Pasal 218-220 tidak melebar. Hal itu terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 218 ayat 2 yang menyatakan jika hal itu dilakukan untuk pembelaan diri atau kepentingan umum.
Kemudian dijelaskan jika Pasal 218-220 adalah delik aduan. Di mana yang bersangkutan yang harus melapor sendiri. Jika ditelisik, pasal ini tidak jauh berbeda dengan penghinaan yang ada di Pasal 310 KUHP versi lama.Â
Bedanya Pasal 310 adalah subjeknya individu bukan penguasa. Jika melihat ajaran positivisme, maka hal itu tidak ada salahnya. Tentu kita tidak bisa merumuskan tindakan apa saja yang masuk ke dalam "penyerangan harkat martabat".Â
Maka frasa tersebut digunakan untuk mengakomodir perbuatan apa saja yang dinilai menyerang harkat martabat alias abstrak. Meski begitu, kita juga tidak boleh melupakan sejarah.Â
Pasal penghinaan terhadap kepala negara ini pernah muncul pada era kolonialisme. Tapi hal itu perlu dipahami karena ratu adalah simbol negara karena bentuk negara Belanda adalah kerajaan.Â
Hal berbeda dengan KUHP saat ini, presiden bukanlah simbol negara. Merujuk Undang-Umdang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan maka Pancasila adalah simbol negara.Â
Ketakutan masyarakat adalah biasnya antara kritik dan fitnah. Memang jika dilihat dari sisi HAM, HAM perlu dibatasi begitu juga dengan kebebasan berpendapat. Akan tetapi pembatasan itu jangan sampai merenggut hak prinsipil warga negara.Â
Jika merunut berlakunya waktu, maka KUHP versi Belanda sudah sepatutnya direvisi. Itu adalah suatu kemajuan dari sisi hukum bagi bangsa Indonesia.Â
Akan tetapi dalam pembentukannya perlu dibuka partisipasi masyarakat luas. Produk hukum yang baik adalah dengan melibatkan dan mengakomodasi masukan masyarakat luas. Sehingga undang-undang yang dihasilkan mencerminkan keinginan banyak orang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H