Setidaknya kita telah mengalami beberapa kali dinamika konstitusi. Mulai dari UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, hingga dektrik presiden 5 Juli 1959 yang intinya memerintahkan kembali pada UUD 1945.
Itulah yang terjadi. Aturan pokoknya saja mengalami banyak dinamika apalagi aturan turunannya termasuk undang-undang lain. Maka jangan salahkan jika KUHP peninggalan Belanda itu terus kita pakai.Â
Dari segi usia dan kemajuan bangsa, sudah sepatutnya kita memiliki KUHP dan KUHPerdata sendiri. Jadi, secara usia kita memang wajib memiliki KUHP sendiri.Â
Akan tetapi, dalam perjalanannya RKUHP yang sudah lintas periode presiden ini tak kunjung usai. Selain itu, penolakan terus terjadi terutama di kalangan masayarakat sipil. Banyak kalangan menilai jika KUHP baru bisa merenggut kebebasan sipil.Â
Pasal bermsalah
Sejak dibahas tahun 2019 lalu, RKHUP mendapat banyak penolakan, terutama untuk beberapa pasal yang bermasalah. Salah satu pasal yang cukup disoroti adalah terkait living law yang terdapat di Pasal 2 ayat 1.
Living law tersebut tak lain adalah hukum adat. Â Mengapa pasal ini bermasalah? Jika kita mengacu pada buku I draf RKHUP tertanggal 30 Novemver 2022 lalu, maka menurut hemat penulis kontradiksi dengan Pasal 1.
Pasal 1 sendiri mengatur tentang asas legalitas yang pada intinya suatu perbuatan tidak akan dipidana tanpa ada aturan terlebih dahulu. Jadi, untuk bisa dikatakan suatu tindak pidana maka harus ada aturan yang menyertainya.
Tujuan awal dari asas legalitas ini tak lain untuk memberi kepatian hukum. Jika suatu tindakan tidak diatur secara jelas, tentu tidak semua orang akan tahu jika tindakan itu dilarang atau tidak. Beda hal jika tindakan tersebut dibukukan dalam bentuk undang-undang.Â
Sementara itu, living law sendiri tidak dikodifikasi (dibukukan). Jadi, masyarakat tidak tahu apakah perbuatan tertentu bertentangan dengan hukum adat atau tidak. Inilah yang menjadi masalah dan jauh dari kepastian hukum.Â
Itu sebabnya jika pasal living law ini begitu kontradiksi dengan asas legalitas yang memberi kepastian hukum. Memang dalam praktiknya hukum adat sah dan diakui.
Akan tetapi jika melihat pada penerapan yang ada di KHUP baru dan melibatkan Perda, maka itu akan menghilang kesakralan hukum adat itu sendiri. Selain itu, ketentuan Perda tersebut ditakutkan penafsirannya terlalu luas dan diskriminatif.Â