Kemudian di dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 dikatakan jika living law berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di daerah adat. Hal ini berarti baik bagi masyarakat adat mau pun bukan aturan tersebut berlaku.
Jika masyarakat hukum adat tentu tahu batasan perbuatan mana saja yang berlaku, lain lagi jika masyarakat luar adat yang tentu tidak tahu perbuatan mana saja yang termasuk tindak pidana adat atau bukan. Artinya kepastian hukum itu sendiri jelas tidak ada.Â
Pasal lain yang mendapat sorotan adalah Pasal 218-220 terkait penyerangan harkat martabat presiden dan atau wakil presiden. Tentu frasa yang menjadi masalah adalah "penyerangan harkat dan martabat."
Kemudian melihat penjelasan Pasal 218 disebutkan yang dimaksud menyerang harkat dan martabat adalah perbuatan yang merendahkan atau perbuatan merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah.
Meskipun ada hal pembeda dengan UU ITE karena memberi penjelasan, akan tetapi tetap saja frasa fitnah itu terlalu luas. Definisi fitnah sendiri tidak jelas. Padahal suatu definisi yang baik adalah tidak melebar.Â
Pemerintah sendiri menyiasati agar Pasal 218-220 tidak melebar. Hal itu terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 218 ayat 2 yang menyatakan jika hal itu dilakukan untuk pembelaan diri atau kepentingan umum.
Kemudian dijelaskan jika Pasal 218-220 adalah delik aduan. Di mana yang bersangkutan yang harus melapor sendiri. Jika ditelisik, pasal ini tidak jauh berbeda dengan penghinaan yang ada di Pasal 310 KUHP versi lama.Â
Bedanya Pasal 310 adalah subjeknya individu bukan penguasa. Jika melihat ajaran positivisme, maka hal itu tidak ada salahnya. Tentu kita tidak bisa merumuskan tindakan apa saja yang masuk ke dalam "penyerangan harkat martabat".Â
Maka frasa tersebut digunakan untuk mengakomodir perbuatan apa saja yang dinilai menyerang harkat martabat alias abstrak. Meski begitu, kita juga tidak boleh melupakan sejarah.Â
Pasal penghinaan terhadap kepala negara ini pernah muncul pada era kolonialisme. Tapi hal itu perlu dipahami karena ratu adalah simbol negara karena bentuk negara Belanda adalah kerajaan.Â
Hal berbeda dengan KUHP saat ini, presiden bukanlah simbol negara. Merujuk Undang-Umdang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan maka Pancasila adalah simbol negara.Â