Di Indonesia hal itu justru menjadi lelucon seperti yang dilontarkan oleh anggota DPR sana. Hal itu menunjukkan jika edukasi mendasar seperti itu pun tidak berjalan denhan baik.Â
Mitigasi lainnya adalah bangunan tahan gempa. Sejatinya gempa tidaklah membunuh. Yang membunuh adalah bangunan yang ada di sekitarnya. Itulah yang terjadi di Cianjur sana.Â
Jepang mengevaluasi Undang-Undang (UU) Standar Bangunan sebagai pelajaran dari gempa bumi besar Hanshin (1995). UU sekarang memberi penjelasan jauh lebih rinci terkait tingkat kinerja bangunan anti gempa, spesifikasi, dan bentuk pondasi.
Jika pengambang tidak memiliki standar dan spesifikasi bangunan tahan gempa, maka izin bangunan pun tidak akan keluar. Para insinyur di sana merancang bangunan dengan beberapa cara.Â
Pertama bangunan tersebut harus tahan gempa dengan kekuatan kecil. Kerusakan yang terjadi pun masih bisa diminimalisir. Cara kedua adalah dengan membuat bangunan tahan gempat dengan kekuatan besar.Â
Guna menahan kekuatan gempa yang luar biasa, bangunan harus menyerap energi seismik sebanyak mungkin. Hal itulah yang akan memungkinkan bangunan tidak mudah runtuh.
Di Indonesia regulasi itu sudah ada yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 tahun 2005. Meski begitu, dalam praktiknya penerapan itu dikembalikan pada pemda.Â
Itu artinya, pemda harus memiliki standar tinggi untuk bangunan-bangunan yang ada di atas sesar aktif. Jika ada bangunan yang dirancang tidak sesuai standar gempa, maka seharusnya IMB tidak terbit.Â
Hal-hal seperti itulah yang harus kita lakukan saat ini. Selain itu, bangunan yang ada di patahan gempa juga harus memilili jalur evakuasi apabila keadaan darurat terjadi.Â
Mitigasi bencana seperti itulah yang harus kita lakukan untuk berdamai dengan alam. Karena sekali lagi kita tidak bisa mengubah alam. Melainkan kita harus berdamai dengan kondisi alam sekitar.Â